Wednesday, August 2, 2017

MEMANTAPKAN IDENTITAS PENDIDIKAN NU

Mungkin NU adalah nama organisasi yang saya kenal karena papan nama Pengurus di tingkat Kecamatan terpampang tak jauh dari rumah tempat saya tinggal. Karena familiarnya kami dengan papan nama itu sehingga ada teman yang demikian mahir menggambar lambang NU lehkap dengan tulisan kaligrafi Arabnya. Pada saat sekolah, teman temanpun banyak  meruapakan putra anggota NU sehingga watak dan tradisi warga NU sejatinya saya merasa sangat familiar.  Di mana mana saya dapatkan sekolah NU dan sejatinya pada saat SD pun saya sempat masuk sekolah sore Madrasah Al-Khoiriyah yang saya kenal pengelolanya adalah para tokoh NU setempat.

Ketika saya duduk di bangku kuliah tokoh idaman saya adalah Gus Dur, betapapun tipisnya isi dompet saya, bila saya tahu ada tulisan Gus Dur di majalah Tempo, maka saya hampir dapat dipastikan harus membelinya, Karena tulisan Gus Dur bagi saya sangat inspoiratif. Tulisan itu biasanya saya baca berulang ulang dan setiap kali baca ulang, ada saja pemahaman dan gagasan baru dari saya.  Walaupun akhirnya saya tak sejalan dengan pemikiran Gus Dur, Tetapi diam diam saya masih menyisakan kekaguiman kepada Gus Dur dan kawan kawan karena mereka berfikir bebas dan demokratis.

Pemikiran Gus Dur sangat mempengaruhi teman teman saya sebagai aktivis keluarga besar NU, dengan lincah dan tak canggung canggung mereka mampu bergaul dengan pihak non Muslim, dan GP Anshor sangat dielu elukan oleh pihak Gereja karena setiap kali diselenggarakan peringatan Natal tak segan segan GP Anshor melakukan penjagaan keamanan di gereja gereja. Saya berfikir masalah toleransi maka NU adalah sesuatu yang sangat dipuji oleh pihak luar Islam, utamanya pihak Kristian.

Tetapi ada satu yang membuat saya heran, ketika ada berbagai pristiwa NU menunjukkan rasa permusuhan terhadap sesama ummat Islam. Yang terakhir marak di media sosial adalah penolakan sekitar ratusan warga NU terhadap rencana pendirian SMP Islam terpadu yang dikelola oleh Pondok Pesantren At-Thoyibah Nurul Fikri, Yang mengejutkan saya adalah yang yang dijadikan alasannya bahwa aqidah penyelenggara sekolah yang direncanakan ini tidak sejalan dengan aqidah NU,

Hingga saya menulis naskah ini saya belum tahu persis, apa akidah SMP Islam Terpadi Nurul Fikri itu. Karena menurut mereka, mereka tak memiliki perbedaan dengan aqidah NU yang sama kita kenal sebagai AhlusSunnah Wal Jama'ah Mazhab As-Syafiiyah. Lalu mazhab yang dituduhkan kepada mereka sebenarnya apa. saya tidak memiliki informasi. \

Ini sungguh mengejutkan saya, adalah bahwa NU yang saya kenal adalah kelompok yang paling luwes sikapnya, bayangkan saja Partai Islam terbesar pada saat itu adalah Partai yang paling gampang menerima konsep Nasakon nya Soekarno. Waktu Kasus Ahok menista Agama, sebagaian tokoh NU membela atau setidaknya tidak menyalahkan Ahok. Pada saat Pilkada DKI sebagian tokoh NU menyatakan memilih Ahok. Yang memperihatinkan  adalah ketika NU demikian antipatinya terhadap sesama Muslim pada akhir akhir ini, seperti berita beberapa waktu yang lalu GP Anshor terlibat pembubaran acara ceramah agama, dan yang lebih memprihatinkan saya adalah NU merekomendasikan pembubaran HTI dan organisasi lainnya, yang diduga adalah FPI.

Apa yang sesungguhnya terjadi di NU. Itu barangkali yang kita tidak tahu dan itu pula yang menyebabkan kita terkejut atas sikap sikap NU yang diluar dugaan. Apakah ini terkait kampanye Islam Nusantara yang dijadikan ikon hasil Muktamar yang terakhir memilih Prof. Said Agil Siraj. Islam Nusantara adalah Islam yang toleran, sedang Islam produk Timur Tengah adalah intoleran. Kita tidak tahu itu. Apakah itu juga terkait dengan sikap sang Ketua Umum sebagai tokoh yang belakangan seperti anti jenggot dan antri surban yang disebut ke Arab Araban. Apakah atas sikap sang Ketua maka muncul NU garis lurus. Jelas banyak orang non NU pun ikut menyayangkan siakp seperti ini. Jika ingin memulyakan Islam Nusantara, tidaklah perlu rasanya menghinakan Islam yang berasal dari Timur tengah.

Dengan munculnya NU garis lurus, saya menghawatirkan adanya perpecahan ditubuh NU yang memang gemuk itu, sayaberharap jangan sampai ada kesulitan kamunikasi antara pimpinan elit NU dengan akr rumpu di satu pihak dan para Ulama, Kiyai, ustad di pihak lain. Walaupun Ulama, Kiyai, Ustadz itu berada di luar struktur kepengurusan, tetapi di maka ummat mereka adalah pimpinan yang sangat mereka patuhi. Sepengetahuan saya sekalipun bukan santri sebagian masuarakat dalam hal keagamaan bukan merujuk kepada pengurus NU, melainkan kepada pimpinan pondok pesantren. Dengan demikian aspirasi pihak pondok dengan ulama, kiyai dan ustadnya memiliki eksistensi yang kuat di mata masyarakat.