Monday, May 7, 2018
Too Good to Be True
BLAS saya gak paham bahasa Inggris jadi tak mungkin saya memahami filosofi lagu ini, tahupun tidak saya dengan judul lagu ini, siapa penyanyinya, dan kapan terbitnya lagu ini dan siapa pula yang menyanyikan dan mempopuleritas kannya,apalagi isi liriknya, sungguh tak tahu. Lagu itu berjudul To Good to be True. Terjemahannya adalah 'Terlalu Sempurna UIntuk Dipercaya,. Heran kenapa justeru meragukan sesuatui yang terlalu sempuna.
Saya teringat dengan teman saya namanya, tak saya sebut namanya. Dia bendahara saya dalam suatu Proyek yang kami kelola selama dua tahun, Maaf kata si bendahara kepada ketua Tim Pemeriksa BPKP, bukunya kotor banyak coretan, maklum ngitungnya sering salah, katanya, karena ada beberapa halaman yang terpaksa dikoreksi sebelum maju ke pemeriksaan, sehingga buku yang disodorkan penuh coretan penyempurnaan
Ow ... tidak ... ! kata si Pemeriksa, "justeru ini yang benar", ... kami lebih percaya ... tambahnya, dibanding yang mulus tampa coretan. Buku keuangan yang apa adanya itu pasti ada coretannya, sedang buku induk yang sama sekali tak ada coretanm itu pembukuan rekayasa katanya.Terkait judul lagu To Good to be True, (terlalu sempurna untuk dipercaya), maka saya teringat kenangan sekitar hampir dua puluhan tahun yang silam tepatnya tahun 1997/ 8.
Seorang Roky Grung pengamat politik, pakar filsafat menyebutkan judul lagu itu. Lagu itu berbunyi :
[Intro: The Vamps]
You're way too good to be true
You're way too good to be true
Kau terlalu indah untuk jadi kenyataan
[Verse 1: The Vamps]
The way that you move
Caramu bergerak
You take me to heaven
Kau membawaku ke kayangan
The things that you do
Semua yang kau lakukan
You got me confessin'
Membuatku mengakuinya
Got me confessin'
Membuatku mengakuinya
You fell from the sky
Kau turun dari langit
Type of perfection
Dari kesempurnaan
Is this real life?
Is this real life?
Nyatakah ini?
There's something about you
Yang tentang dirimu
[Chorus: The Vamps]
You're way too good to be true
You're way too good to be true
Kau terlalu indah untuk jadi kenyataan
Ooh, ooh
You're way too good to be true
You're way too good to be true
Kau terlalu indah untuk jadi kenyataan
Ooh, ooh
[Pre-Chorus: The Vamps]
Oh, no baby don't lie
Oh, jangan bohong sayang
When you say that you'll be mine
Saat kau bilang kau kan jadi milikku
I can't look in your eyes
Aku tak bisa menatap matamu
'Cause I fall a thousand times
Karena ku terjatuh ribuan kali
And all I want is you to testify, ooh
Dan yang ku inginkan kau buktikan
Gerung mengingatkan lagu ini ketika merespon laporan pihak Kepolisian tentang prinstyiwa teror terhadap para ulama Dalam acara Diskusi Mingguan Indonesia Lawyer Club yang diselenggarakan , tema kali itu adalah membahas tentang Terserangnya sejumlah Imam Masjid oleh sejumlah orang yang belakangan ternyata dinyatakan gila. Mengapa ada orang orang gila yang bergerak serentak menyerang imam masjid diberbagai titik di jawa Barat dan sejumlah daerah lainnya.
Yang menjadi persoalan dalam diskusi live yang disiarkan secara langsung oleh TV ONE buikan justeru pristiwanya, tetapi justeru laporan dari pihak Kepolisian yang demikian sempurna, dan hanya dalam waktu singkat semua terdapat datanya, dengan kesimpulan yang relatif final disimpulkan bahwa pihak penyerang adalah sebagian besar adalah orang yang kurang waras. kehebatan luar biasa
Kali ini kerja keras Kepolisian nampaknya menunjukkan kehebatan luar biasa, dan tak butuh waktu lama. Padahal ada kasus yang juga demikian besar, yang tenyata Kepolisian seperti tak mampu berkutik. Sebut saja kasus penyiraman air keras di mata seorang Novel baswedan yang dikenal sebagai penyidik KPK yang berhasil menangani kasus kasus besar. Tetapi kali ini polisi luar biasa, maka gerung menyatakan To Good to Be True, terlalu sempurna untuk dipercaya,
Jujur, Indonesia sedang kehilangan keindahannya pasca Pilkada DKI, yang pada saat itu Pilkada terusik oleh pernyataan Gubernur Jakarta yang kelak maju sebagai calon petahana dalam Pilkada DKI, karena pada saat itu beliau sebagai Gubernur DKI Jakarta.
(live)
Friday, May 4, 2018
JADI PAKAR TAPI TAK KULIAH S3
UMUMNYA orang akan berpendapat bahwa untuk menjadi pakar dalam suatu hal maka satu satunya jalan adalah ambil kuliah sampai S3, jadi dosen meneliti dan menulis, ceramah, diskusi, seminar dan lain sebagainya. Tetapi ternyata tidak, ada juga yang jadi pakar, hanya lulusan S1 tampa harus melalui S3. Namanya Gerung dia diminta mengajar di Jurusan Filsafat UI, dia menciptakan hingga sembilan mata kuliah baru, dan terpaksa mata kuliah baru itu dia sendiri yang mengajarkan, di Perguruan Tinggi Umum orang seperti gerung terbilang langka Tetapi tidak dalam pendidikan agama Islam, sebenarnya orang orang seperti gerung itu bertaburan dari Pesantren Pesantren terkenal, hanya tidak di data, dan tak berkesempatan ditampilkan dipublik, apalagi semisal ILC (Indonesian Lawyer Club), yang ikut saling mengharumkan antara keduanya.
Jika tak silap dalam mengingat Jurusan Filsafat di UI itu ada di Fakultas Sastra, logis karena sastra itu nenbahas bahasa dan puncak pembahasan Ilmu Bahasa itu adalah filsafat, belajar bahasa tetapi tak belajar filsafat itu bisa gagal. Saya berharap UI sudah punya Fakultas Filsafat dengan berbagai jurusan dan Prodi Prodinya, serta didukung oleh dana dan Profesor dari berbagai disiplin dan konsentrasi keilmuyannya, karena akan besdar manfaatnya bagi bangsa.
Banyak kita yang terkagum kagum dan menikmati sekali manakala Gerung tampil di ILC, kita seperti akan dibuatnya pintar mendadak, walaupun keesokan harinya kita ngobrol ngobrol di Musholla selepas magrib dan menanti saat waktu Isya, banyak juga yang mengaku kurang paham dengan apa yang di sampaikan Gerung. Dan kamipun saling mengisi antar sesama jema'ah.
Hingga saat ini selama tampilan gerung di ILC nampak tak ada lawan debatnya yang mampu mematahkan argumentasi gerung, yang sangat kentara sekali telah melalap buku buku filsafat dan sederet novel dan Roman karya penulis terkenal, sehingga tersusun bila menjelaskan gagasan dan uraian secara singkat. Ada yuang coba soba mengimbanginya, tetapi adalah terlalu mudah bagi Gerung untuk membuat lelucon.
Gerung yang di kampus Selalu di sapa Pak Provesor, ternyata bukan seorang Provesor, bahkan S3 pun tidak. Konon Dia hanya S1. Tetapi Dialah orangnya yang menyusun Visi Misi di jurusan tempatnya mengabdi, dia menyelkesaikan kurikulumnya serta menyusun tahapan tahapan claster materi kuliahnya dan sebagian besar mata kuliahnya terpaksa dia juga yang menyajikannya kepada mahasiswa.
Tetapi dalam dunia Islam orang orang model Rocky Gerung itu tidak kurang kurang, sebagian besar ulama tempo dulu itu menyelesaikan sendiri study literaturnya, artinya hanya sebagain saja ngaji kitab diselkesaikan di bawah bimbingan Kiyayi atau ustadznya, sisanya Dia sendiri yang membaca dan mengkajinya, selesai membaca baru Dia pertanggungjawabkan dihadapan Kiyayi dan Ustadznya itu sebagai pertanggung jawaban akademiknya, disertai sejumlah catatan pribadinya. Kitab kitab itu dia gelar dihadapan para santrinya, yang sesungguhnya telah diangkatnya sebagai Ustadz di di Pesantren yang didirikannya. Tradisi Islam dalam mendalami pemahaman terhadap agamanya adalah menjaga nasab dengan segala kehormatannya, itulah sebabnya sorang yang menyelesaikan sendiri baca kitabnya harus menghadap Sang Kiyayi di mana Dia dahulu nyantri.
Itu letak bedanya dengan lembaga pendidikan agama Islam tradsional yang dikenal dengan pesantren utam,anya di Indonesia, kegiatan Pesantren itu antara lain ngaji kitab. Ngaji kitab itu bandingannya adalah sudy literatur. Pada saat nyantri belum semua kitab ditammatkan, tetapi nanti setelah dia pulang ke Kampung dan mendiriukan Pondok Pesantren, dia menyelesaikan bacaan kitabnya yang menunggak, titab itu dibaca sambil mengajar kepada Ustadz UIstadz yang membantunya. setelah selesai buku itu dibaca dan dibahasnya lalu Ia melapor kepada Kiyayinya, keyayi menyampaikan tanggapan dan ditutp dengan doa. Dia pun mengaji kitab dan jelas nasabnya.
Tradisi di Pesantren itu, khususnya Pesantren Jawa Timur hanya memperebutkan satu gelar bagi santrinya, yaitu Den Bagus, atau Raden Bagus, yang lazim dengan sapaan " Gus " itu yang diterimanya pada saat nyantri, sedang predikat Ustadz nanti di terima pada saat membantu sebagai tenaga pengajar di Pondo, sementara Predikat Kiyai disandang ketika telah berhasil mendirikan Pesantren. Tidak semua mereka mampu meraih gelar gelar itu.
Dalam study mandiri masing masing seseorang memiliki kebihan dan kekurangannya, ada yang berhasil secara cepat, ada yang lambat dan bahkan ada yang tercapai. Dan para lulusan Pesanten ada diantaranya yang melanjutkan study ke Timur tengah, di Timur tengah mereka berkesempatan bersentuhan dengan kitab kitab klasik dan bahkan lebih tebal. Tetapi merwka yang melanjutkan study ke Barat mereka akan bersentuhan dengan kitab kitab dan pemikiran Orientalis. Yaitu non Muslim yang meneliti dan menulis tentang Islam. Antara Timur tengah dengan sistem pendidikan di Barat memilkiki perbedaan yang cukup ekstrim.
Yang ingin disampaiukan dalam tulisan ini adalah bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka seseorang akan memiliki kemampuan untuk melakukan studi literatur secara mandiri. Bukti yang paling mudah kita temua pada saat sekarang ini dalah dari fenomena kepakaran para muallaf. Tidak terhitung jumlahnya sekarang ini para muallaf yang memiliki pemahaman keisalaman yang jauh di atas rata rata. Mereka telah melalui jenjang pendidikan S1, S2 dan S3.
Bagi mantan pendeta atau semacamnya di agama lain, mereka ada dalam ilmu keislaman dalam lingkup kritologi atau lain semacamnya. Tingkat pendidikan mereka sangat membantu dalam profesionalisme kepakaran mereka. Tetapi ada juga diantara mereka yang memilih keilmuan secara kaffah, walaupun berasumbu kepada keakidahan, tetapi secara diam diam mereka mendalami problema sosial. Yang ingin saya sampaikan adalah fenomena Ustadz Flik Xiau, juga seorang muallaf, mengagumkan, bagaimana Felix Xiau mencapai taraf kekaffahan ilmu keislamannya dibanding banyak ummat Islam memang telah Islam sebelum dilahirkan.
Ini sekedar bukti bahwa dalam ilmu keislaman mencapai kepakaran dan kekaffahan dalam pemahaman keislamanya. Yang dalam awal tulisan ini saya katakan banyak kita temukan mereka yang memiliki pemahaman yang luar biasa dengan melalui autodidag. Relatif berusaha belajar sendiri. Yang ingin saya tuliskan adalah betapa banyaknya mereka yang sukses melakukan sutudy Islam sementara mereka memiliki pendidikan dalam tevel relatif rendah, atau mereka yang sesungguhnya memiliki disiplin ilmu yang lain, tetapi mereka mampu mencapai pemahaman ilmu keislaman yang lebih kaffah atau total. Dimaksudkan mereka semisal Ricky Gerung dalam ilmu keislaman jumlahnya banyak sekali. Hingga sekarang masih terus bertambah dan berkembang.
Jika tak silap dalam mengingat Jurusan Filsafat di UI itu ada di Fakultas Sastra, logis karena sastra itu nenbahas bahasa dan puncak pembahasan Ilmu Bahasa itu adalah filsafat, belajar bahasa tetapi tak belajar filsafat itu bisa gagal. Saya berharap UI sudah punya Fakultas Filsafat dengan berbagai jurusan dan Prodi Prodinya, serta didukung oleh dana dan Profesor dari berbagai disiplin dan konsentrasi keilmuyannya, karena akan besdar manfaatnya bagi bangsa.
Banyak kita yang terkagum kagum dan menikmati sekali manakala Gerung tampil di ILC, kita seperti akan dibuatnya pintar mendadak, walaupun keesokan harinya kita ngobrol ngobrol di Musholla selepas magrib dan menanti saat waktu Isya, banyak juga yang mengaku kurang paham dengan apa yang di sampaikan Gerung. Dan kamipun saling mengisi antar sesama jema'ah.
Hingga saat ini selama tampilan gerung di ILC nampak tak ada lawan debatnya yang mampu mematahkan argumentasi gerung, yang sangat kentara sekali telah melalap buku buku filsafat dan sederet novel dan Roman karya penulis terkenal, sehingga tersusun bila menjelaskan gagasan dan uraian secara singkat. Ada yuang coba soba mengimbanginya, tetapi adalah terlalu mudah bagi Gerung untuk membuat lelucon.
Gerung yang di kampus Selalu di sapa Pak Provesor, ternyata bukan seorang Provesor, bahkan S3 pun tidak. Konon Dia hanya S1. Tetapi Dialah orangnya yang menyusun Visi Misi di jurusan tempatnya mengabdi, dia menyelkesaikan kurikulumnya serta menyusun tahapan tahapan claster materi kuliahnya dan sebagian besar mata kuliahnya terpaksa dia juga yang menyajikannya kepada mahasiswa.
Tetapi dalam dunia Islam orang orang model Rocky Gerung itu tidak kurang kurang, sebagian besar ulama tempo dulu itu menyelesaikan sendiri study literaturnya, artinya hanya sebagain saja ngaji kitab diselkesaikan di bawah bimbingan Kiyayi atau ustadznya, sisanya Dia sendiri yang membaca dan mengkajinya, selesai membaca baru Dia pertanggungjawabkan dihadapan Kiyayi dan Ustadznya itu sebagai pertanggung jawaban akademiknya, disertai sejumlah catatan pribadinya. Kitab kitab itu dia gelar dihadapan para santrinya, yang sesungguhnya telah diangkatnya sebagai Ustadz di di Pesantren yang didirikannya. Tradisi Islam dalam mendalami pemahaman terhadap agamanya adalah menjaga nasab dengan segala kehormatannya, itulah sebabnya sorang yang menyelesaikan sendiri baca kitabnya harus menghadap Sang Kiyayi di mana Dia dahulu nyantri.
Itu letak bedanya dengan lembaga pendidikan agama Islam tradsional yang dikenal dengan pesantren utam,anya di Indonesia, kegiatan Pesantren itu antara lain ngaji kitab. Ngaji kitab itu bandingannya adalah sudy literatur. Pada saat nyantri belum semua kitab ditammatkan, tetapi nanti setelah dia pulang ke Kampung dan mendiriukan Pondok Pesantren, dia menyelesaikan bacaan kitabnya yang menunggak, titab itu dibaca sambil mengajar kepada Ustadz UIstadz yang membantunya. setelah selesai buku itu dibaca dan dibahasnya lalu Ia melapor kepada Kiyayinya, keyayi menyampaikan tanggapan dan ditutp dengan doa. Dia pun mengaji kitab dan jelas nasabnya.
Tradisi di Pesantren itu, khususnya Pesantren Jawa Timur hanya memperebutkan satu gelar bagi santrinya, yaitu Den Bagus, atau Raden Bagus, yang lazim dengan sapaan " Gus " itu yang diterimanya pada saat nyantri, sedang predikat Ustadz nanti di terima pada saat membantu sebagai tenaga pengajar di Pondo, sementara Predikat Kiyai disandang ketika telah berhasil mendirikan Pesantren. Tidak semua mereka mampu meraih gelar gelar itu.
Dalam study mandiri masing masing seseorang memiliki kebihan dan kekurangannya, ada yang berhasil secara cepat, ada yang lambat dan bahkan ada yang tercapai. Dan para lulusan Pesanten ada diantaranya yang melanjutkan study ke Timur tengah, di Timur tengah mereka berkesempatan bersentuhan dengan kitab kitab klasik dan bahkan lebih tebal. Tetapi merwka yang melanjutkan study ke Barat mereka akan bersentuhan dengan kitab kitab dan pemikiran Orientalis. Yaitu non Muslim yang meneliti dan menulis tentang Islam. Antara Timur tengah dengan sistem pendidikan di Barat memilkiki perbedaan yang cukup ekstrim.
Yang ingin disampaiukan dalam tulisan ini adalah bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka seseorang akan memiliki kemampuan untuk melakukan studi literatur secara mandiri. Bukti yang paling mudah kita temua pada saat sekarang ini dalah dari fenomena kepakaran para muallaf. Tidak terhitung jumlahnya sekarang ini para muallaf yang memiliki pemahaman keisalaman yang jauh di atas rata rata. Mereka telah melalui jenjang pendidikan S1, S2 dan S3.
Bagi mantan pendeta atau semacamnya di agama lain, mereka ada dalam ilmu keislaman dalam lingkup kritologi atau lain semacamnya. Tingkat pendidikan mereka sangat membantu dalam profesionalisme kepakaran mereka. Tetapi ada juga diantara mereka yang memilih keilmuan secara kaffah, walaupun berasumbu kepada keakidahan, tetapi secara diam diam mereka mendalami problema sosial. Yang ingin saya sampaikan adalah fenomena Ustadz Flik Xiau, juga seorang muallaf, mengagumkan, bagaimana Felix Xiau mencapai taraf kekaffahan ilmu keislamannya dibanding banyak ummat Islam memang telah Islam sebelum dilahirkan.
Ini sekedar bukti bahwa dalam ilmu keislaman mencapai kepakaran dan kekaffahan dalam pemahaman keislamanya. Yang dalam awal tulisan ini saya katakan banyak kita temukan mereka yang memiliki pemahaman yang luar biasa dengan melalui autodidag. Relatif berusaha belajar sendiri. Yang ingin saya tuliskan adalah betapa banyaknya mereka yang sukses melakukan sutudy Islam sementara mereka memiliki pendidikan dalam tevel relatif rendah, atau mereka yang sesungguhnya memiliki disiplin ilmu yang lain, tetapi mereka mampu mencapai pemahaman ilmu keislaman yang lebih kaffah atau total. Dimaksudkan mereka semisal Ricky Gerung dalam ilmu keislaman jumlahnya banyak sekali. Hingga sekarang masih terus bertambah dan berkembang.
Tuesday, May 1, 2018
PEMERINTAH MENGELOLA NEGARA DENGAN MINUS LITERASI (GERUNG)
PRESTASI Jokowi sebagai Presiden semakin hari semakin mengecewakan, karena media sosial semakin disesaki analisis yang menyudutkan prestasi Jokowi yang semakin lama semakin nyata kemiskinannya dalam literasi, dan dalam waktu bersamaan beliau menkebiri kebebasan berpendapat dan berekspressi. Menangkap gejala kekeringan literasi yang dimiliki Presiden, nampak para anggota Kabinetnya justeru memanfaatkan kelemahan ini. Salah satu yang berani cukup kritis adalah Pengamat politik Rocky Gerung.
Semakin hari bukan pretasi yang dicapai melainkan daftar kekecewaan, bukan hanya kecewa, tetapi hilang kebanggaan, bahkan merasa malu. Apalagi dalam waktu bersamaan beliau sendiri gampang lupa dengan apa yang telah dijanjikan, bahkan lupa dengan apa yang pernah diucapkan
Sejak awal tidak kurang dari seorang Prof. Salim Said pakar politik kemanan mengatakan bahwa kelemahan yang paling menonjol bagi seorang Presiden Jokowi adalah pidatonya tidak menarik, tak pandai berpidato, bahkan juga tak pandai berdialog. Kata Salim Said yakin, nanti pada suatu saat Jokowi akan menghadapi masalah siriuis atas kelemahannya yang satu ini.
Dahulu kita punya Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, lalu SBY, mereka pandai berpidato, mereka mulya ketika menjadi tamu di negara sahabat. Semestinya para pembantu Presiden Jokowi mengantisipasi kelemahan yang satu ini, siapkan teks teks pidato beliau sehingga memiliki makna yang dalam, dan akan kelihatan beliau memiliki konsep yang didukung literasi yang luas.
Sebagai contoh kecil sebenarnya Gubernur DKI akan dijatuhkan dari banyak sisi akibat kekecewaan atas hasii Pilkada yang lalu, tetapi karena Anis nampak memiliki literatur yang luas dan pandai berpidato maka beliau tidak kehilangan rasa simpati masyarakat DKI, bahkan Indonesia, bahkan dunia, Kalau saja Presiden Jokowi memiliki kemampuan berpidato serta kekayaan literasi yang standar saja. Maka kita yakin banyak masalah yang bisa dijelaskannya dengan cara singkat dan seksama, serta mengarahkan para pembangtunya.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Newzaeland, yang menuwai kekecewaan karena merasa dilecehkan, karena beliau tidak melakukan konfrensi Pers setelah melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri setempat. Masyarakat setempat merasa dilecehkan oleh Jokowi, Jokowi dianggap angkuh dan tak memiliki rasa simpati kepada negara itu. Hal ini terjadi barangkali kurang mempersiapkan diri.
Jangankan kunjungan kenegaraan, kita yang berpesiar ke suatu tampat saja, sebelumnya berusaha mencari tahu tentang sejarah dan keadaan tempat yang akan dikunjungi. Sehingga ketika ditanyakan kesan yang dirasakan setelah mengunjungi tempat itu maka kita memiliki konsep yang benar dan jelas dalam memberikan komentar. Tidak sulit bagi seorang presiden untuk mengetahui prihal Newzailand dari berbagai aspeknya. Karena sebelumnya kita telah memiliki kemampuan mengapresiasi segala informasi yang kita terima. Tidak harus berbahasa Inggris, bisa dan boleh bahkan akan lebih terhormat menggunakan penterjemah, ketimbang bicara sendiri dengan bahasa yang sangat terbatas, dan kehilangan makna. Ketidak mampuan seorang piumpinan negara untuk berkomunikasi dengan publik di zaman Now akan menjadi gunjingan hingga ratuisan tahun.
Presiden RI yang pertama memiliki wawasan yang luas dan didukung literasi yang mengagumkan, Presiden Suharto memiliki keterampilan berpidato, sehingga bahasa Indonesia berkumandang di sidang terhormat dunia, pada saat itu beliau mampu membawa rakyatnya mencapai swasembada pangan, dan meningkattkan APK dan APM Pendidikan Nasional. begitu juga dengan Habibie, SBY. Berdasarkan catatan yang kurang pandai berpidato adalah Megawaty serta yang sekarang Jokowi. Ternyata benar kekurang terampilan berpidato bagi pimpinan negara sebesar Indonesia akan berakibat vatal.
Marilah kita ambil pelajaran dari kasus ini bahwa untuk memimipin bangsa sebesar Indonesia seorang Presiden harus ditunjang kemampuan literatif yang tinggi, sehingga memiliki kemampuan mendialogkan segala permasalahan. Manakala seorang pimpinan tertinggi tidak memiliki kemampuan berdialog maka penguasa akan cenderung otoriter, segala kritik yang muncul akan dianggap sebagai penghinaan.
Aneh' segala kritik yang disampaikan diharuskan dengan menyampaikan solusi, jika tidak dengan solusi maka desbut sebagai ujaran kebencian, padahal tugas Pemerintah adalah mencarikan solusi dari permasalkahan yang ada, dan kritik adalah awal dari pengkajian permasalahan itu. Dalam pengkajian itulah
Subscribe to:
Posts (Atom)