Walaupun Wakil Presiden kita adalah Doktor dalam bidang ekonomi dan anggota kabinet lainnya juga banyak yang ekonom, bahkan Presiden kita sendiri adalah Doktor dalam bidang ekonomi, tetapi dalam kebijakan mereka seperti awam dalam bidang ekonomi, gunjang ganjing ekonomi justeru dibuat sendiri oleh berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah sendiri yang gemar membuka kran impor seluas luasnya dan perkembangan lebih lanjut akhirnya import kita jauh lebih besar dari ekspor.
Di lain pihak daya beli masyarakat semakin melorot, dari kebijakan yang ada sepertinya Pemerintah kita yang sangat gemar membangun citra telah mengalami kepanikan, nilai rupiah di mata dolar AS semakin turun jua.
Sepertinya masyarakat dituntut untuk secara mandiri membina diri dalam membangun dayabeli, ini semakin meyakinkan IPD akan pentingnya pelatihan motivasi, karakter bangsa dan kecerdasan otak Brin Gym yang juga intinya adalah membangun mindset generasi muda agar memiliki karakter yang kuat sebagai pelaku ekonomi, agar tidak terlalu menggantungkan diri kepada keberhasilan Pemerintah dalam menyusun berbagai regulator untuk penguatan ekonomi masyarakat.
Editorial Media Indonesia: Menuntut Konsistensi Kebijakan Ekonomi
Semakin hari negara semakin memamerkan kepanikan dalam menghadapi ancaman krisis ekonomi. Salah satu kepanikan itu ialah menaikkan BI rate menjadi 7,25%, Kamis (12/9) pekan lalu, setelah dua pekan sebelumnya Bank Indonesia menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 7%.
Ketika BI menaikkan suku bunga acuan menjadi 7%, pasar menyambut positif seraya berharap BI rate sebesar itu merupakan yang tertinggi dan berangsur-angsur menurun ke angka kestabilan baru. Namun, ketika BI rate dinaikkan lagi menjadi 7,25%, pasar merespons secara negatif.
Menaikkan suku bunga acuan ibarat memberi obat penghilang rasa sakit sementara. Menurut sejumlah ekonom dan pelaku ekonomi, BI rate memang bisa menarik hot money ke dalam negeri, tapi bersifat jangka pendek. Sehari masuk, sehari keluar.
Akan tetapi, penaikan BI rate juga merupakan obat yang punya efek samping. Efek sampingnya ialah kelesuan ekonomi.
BI rate bakal diikuti kenaikan suku bunga kredit bank. Beban sektor industri akan meningkat. Industri kemudian mentransmisikan beban itu kepada penaikan harga barang dan jasa.
Daya beli masyarakat pada gilirannya akan menurun. Padahal, salah satu paket kebijakan pemerintah dalam mengatasi ancaman krisis ialah menjaga daya beli masyarakat.
Di sinilah letak kepanikan negara. Elemen-elemen negara, yakni pemerintah dan BI, menerapkan kebijakan yang bertentangan satu sama lain.
Menurunnya daya beli masyarakat akan mengganjal pertumbuhan ekonomi sebab pertumbuhan ekonomi kita ditopang oleh konsumsi dalam negeri.
Penurunan daya beli masyarakat juga akan memukul sektor riil. Industri akhirnya menunda investasi dan mengurangi produksi.
Ketika industri menunda investasi, industri yang berorientasi ekspor akan mengurangi ekspor. Padahal, dalam paket kebijakan penanggulangan ancaman krisis, pemerintah bertekad menaikkan ekspor dan menurunkan impor untuk menekan defisit neraca perdagangan yang dalam tujuh bulan pada 2013 telah mencapai US$5,65 miliar.
Pada titik tersebut, kembali terlihat perbenturan antara satu kebijakan dan kebijakan lain. Itu kembali memperlihatkan betapa paniknya negara dalam menghadapi ancaman krisis.
Pemulihan ekonomi dari ancaman krisis bukan cuma ditentukan faktor atau kebijakan ekonomi semata. Faktor nonekonomi, yakni faktor psikologi, sering kali lebih menentukan.
Faktor psikologi itu terutama seberapa tinggi tingkat kepercayaan pasar terhadap pengambil kebijakan. Tingkat kepercayaan itu datang dari seberapa konsisten kebijakan yang diambil pemerintah dan bank sentral.
Tetap tertekannya nilai rupiah terhadap dolar merupakan satu bukti belum pulihnya kepercayaan pasar atas kebijakan ekonomi pemerintah.
Oleh karena itu, kita menuntut negara tidak panik dan konsisten dalam menerapkan kebijakan ekonomi untuk menghadapi ancaman krisis agar kepercayaan pasar kembali pulih.
Di tengah turbulensi ekonomi yang sangat kencang seperti sekarang ini, konsistensi, kecepatan, dan kecermatan dalam mengambil sikap merupakan keniscayaan. Tidak ada gunanya berseru kepada berbagai kalangan agar tidak panik, tetapi kenyataannya justru negara sendiri yang panik.
No comments:
Post a Comment