![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhe4OynyVsvN87zvLlropBEDloDJfC1tFqwB_5KlkBEnvDP4xeTd914-w_AAhsrWeQkYMc7qXTlMYuBGBWaNuXTnAq6l0XK1O7kabQijeM6xFKcu8sys5eGRiQfvSCH-QvDVPEMv-FxCBk/s200/New+Picture+%25286%2529.bmp)
Pidato Presiden Jokowi yang pertama dinilai tak ada sesuatu yang baru, kecuali bahwa tentang Kecebong dan Kampret telah selesai. Karena tidak ada sosial teks yang baru maka berarti Presiden kembali ke sosial teks yang lama, yaitu jangan campur adukkan Agama dan Politik, Islam garis keras, jangan membawa bawa gagasan khilafah dan itu semua adalah merupakan kutipan dari politik anti Islam yang disusun oleh Politik Barat dan Amerika Serikat, yang dilatarbelakangi oleh pemikiran Yahudy.
Kutipan yang telan mentah mentah itu dilakukan tampa memikirkan dan mempertimbangkan bahwa dahulu Para Ulamalah yang telah bersusahpayah membangkitkan dan bahkan maju ke medan Perang mengusir penjajah dan merebut Kemerdekaan. Tetapi kini para ulama itu disebut barang kotor dan menjijikkan, keberadaan dan kehadiran mereka paling tak disukai bila para ulama itu masih bersikap kritis kepada Penguasa.
Walaupun dalam pidato disebut sebit bahwa kita membutuhkan opposisi, tetapi manakala ada kritik kepada Pemerintah maka direspon dengan mencarikan delik, dan dicari cari sesuatu pada jejak politiknya, yang mana yang bisa dijadikan delik untuk membelenggunya. Jadi opposisi dibutuhkan bukan diberikan kebebsan bicara dan bersikap tetapi justeru dibutuhkan untuk dilemahkan.
Itulah kira kira yang muncul dalam diskusi ILC ....
No comments:
Post a Comment