Friday, December 7, 2018

I HAVE DREAM


Tutup

Pidato Martin Luther.


I HAVE DREAM

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Martin Luther King, Jr. menyampaikan pidato "Saya Memiliki Impian" pada Pawai di Washington untuk Pekerjaan dan Kebebasan pada tahun 1963.
"I Have a Dream" (Aku Memiliki Sebuah Mimpi) adalah pidato 17 menit oleh Martin Luther King, Jr. yang berisi seruan kesetaraan ras dan diakhirinya diskriminasi. Pidato yang disampaikannya dari tangga Lincoln Memorial di tengah berlangsungnya Pawai di Washington untuk Pekerjaan dan Kebebasan pada 28 Agustus 1963 adalah saat yang menentukan dalam sejarah Gerakan Hak-Hak Sipil Amerika.
Disampaikannya di hadapan lebih dari 200.000 pendukung hak-hak sipil,[1] pidato tersebut masuk ke dalam peringkat pidato paling terkenal pada abad ke-20 di Amerika Serikat menurut jajak pendapat cendekiawan orasi tahun 1999.[2] Menurut anggota Kongres Amerika SerikatJohn Lewis yang juga berpidato pada hari itu sebagai Ketua Komite Koordinator Siswa Antikekerasan, "Dr. King memiliki kekuatan, kemampuan, dan kapasitas untuk mengubah anak-anak tangga di Lincoln Memorial menjadi tempat monumental yang akan selamanya diakui. Dengan berpidato seperti yang dilakukannya, ia telah mendidik, memberi inspirasi, ia menyampaikan bukan hanya kepada orang-orang yang hadir di sana, melainkan orang-orang di seluruh Amerika dan bahkan kepada generasi-generasi yang belum lahir ".[3]
Pada akhir pidato, King menyimpang dari teks yang  Mahalia Jackson, "Katakan kepada mereka tentang mimpi itu, Martin!"[4] Pada awalnya King menyampaikan pidato yang memasukkan beberapa bagian yang sama seperti pernah disampaikannya di Detroit, Juni 1963, ketika berpawai di Woodward Avenue bersama Walter Reuther dan Pendeta C.L. Franklin, ditambah bagian-bagian lainnya yang merupakan hasil latihan.[5]
sudah dipersiapkannya, dan menggantinya dengan penutup pidato yang sebagian adalah hasil improvisasi berdasarkan tema "Saya memiliki sebuah impian" . Tindakannya mungkin terdorong oleh teriakan


Pidato King dipuji secara luas sebagai karya agung retorika yang disampaikannya menyerupai gaya khotbah Gereja Baptis (Dr. King sendiri adalah seorang pendeta Baptis). Isinya merujuk kepada sumber-sumber yang begitu diakui dan dihormati secara luas seperti Alkitab dan mengutip Deklarasi Kemerdekaan Amerika SerikatProklamasi Emansipasi, dan Konstitusi Amerika Serikat. Pada pembuka pidatonya, ia mengingatkan orang pada Pidato Gettysburg dari Abraham Lincoln dengan mengatakan "Five score years ago..." ("Lima wingsati warsa yang lalu") untuk menyebut 100 tahun telah berlalu sejak Proklamasi Emansipasi. Ia juga mengingatkan orang pada ayat Alkitab, misalnya, Kitab Mazmur 30:5 pada [6] bait kedua pidato. Ia mengatakan kalimat tentang penghapusan
perbudakan yang dinyatakan dalam Proklamasi Emansipasi, "fajar sukacita yang mengakhiri malam panjang penawanan mereka." Ada lagi kemiripan dengan ayat Alkitab pada pidato bait ke-10, "Tidak, tidak, kita tidak puas, dan kita tidak akan puas sampai keadilan bergulung-gulung bagaikan air dan kebenaran bagaikan air sungai yang deras." Kalimat tersebut mirip dengan Kitab Amos 5:24.[7]King juga mengutip Kitab Yesaya 40:4-5-"Saya memiliki impian bahwa setiap lembah akan ditinggikan...." [8] Selain itu, King mengingatkan orang pada larik pembuka "Richard III" dari Shakespeare ketika mengatakan, "Musim panas yang memanggang dari ketidakpuasan yang wajar dirasakan orang Negro tidak akan berlalu sampai ada musim gugur yang menyegarkan...."
Anafora atau pengulangan frasa pada awal kalimat, adalah cara retorika yang dipakai dalam keseluruhan pidato ini. Sebuah contoh dari anafora dapat segera dikenali karena King mendorong hadirin untuk memanfaatkan kesempatan: "Sekarang adalah saatnya ..." diulang empat kali dalam paragraf keenam. Contoh anafora yang paling banyak dikutip adalah kalimat "Saya memiliki impian...." yang diulang delapan kali sebagai cara King melukiskan sebuah gambaran Amerika yang bersatu dan terintegrasi kepada pendengarnya. Anafora yang dipakai King juga bisa ditemui pada paragraf-paragraf lainnya antara lain "Seratus tahun kemudian," "Kita tidak akan pernah puas," "Dengan keyakinan ini," "Biarlah kebebasan berdering," dan "akhirnya bebas".

Judul pidato dan proses penulisan[sunting | sunting sumber]

Pidato yang dikenal sebagai "Pidato Saya Memiliki Impian" telah terbukti memiliki beberapa versi, dan ditulis pada beberapa waktu yang berbeda.[9] Pidato tersebut tidak didasari oleh satu versi draf tunggal, melainkan penggabungan dari beberapa konsep, dan pada mulanya diberi judul "Normalcy, Never Again" ("Kenormalan, Jangan Terulang Lagi"). Sedikit dari pidato tadi dan "Pidato Normalcy" lainnya akhirnya dijadikan naskah final. Sebuah naskah "Normalcy, Never Again" disimpan di Koleksi Martin Luther King, Jr. Morehouse College, Perpustakaan Robert W. Woodruff di Atlanta University Center dan Morehouse College.[10] Kalimat "Saya memiliki impian" tercipta ketika pidato sedang disampaikan. Menjelang akhir pidato, penyanyi gospel terkenal Afrika-Amerika Mahalia Jacksonberteriak kepada Dr. King dari antara kerumunan, "Katakan kepada mereka tentang mimpi itu, Martin." [11] Dr. King berhenti menyampaikan pidato yang sudah disiapkan sebelumnya, dan mulai "berkhotbah", menekankan poin-poinnya dengan kalimat "Saya memiliki impian."
Pidato King disusun dengan bantuan Stanley Levison dan Clarence Benjamin Jones[12] di Riverdale, New York City. Jones pernah mengatakan bahwa "persiapan logistik untuk pawai begitu memberatkan sampai-sampai pidato itu bukanlah prioritas bagi kami" dan juga "pada malam Selasa, 27 Agustus [12 jam sebelum Pawai] Martin masih tidak tahu apa yang akan dikatakannya".[13]

Penerimaan publik[sunting | sunting sumber]

Pidato ini mendapat pujian pada hari-hari setelah pawai, dan secara luas dianggap sebagai titik puncak pawai oleh para pengamat kontemporer.[14] James Reston yang menulis untuk New York Times mencatat bahwa peristiwa tersebut "diliput oleh televisi dan pers secara lebih baik dibandingkan dengan segala peristiwa yang terjadi di sini sejak pelantikan Presiden Kennedy," dan berpendapat bahwa "Perlu waktu lama sebelum [Washington] dapat melupakan suara yang merdu dan melankolis dari Pdt. Dr Martin Luther King Jr. yang meneriakkan mimpi-mimpinya kepada orang banyak".[15] Sebuah artikel di Boston Globe oleh Mary McGrory melaporkan bahwa pidato King "berhasil menangkap suasana" dan "menggerakkan kerumunan" pada hari itu "seolah-olah tidak ada" pembicara lainnya dalam acara tersebut.[16] Marquis Childs dari The Washington Post menulis bahwa pidato King "lebih dari sekadar pidato belaka".[17] Sebuah artikel di Los Angeles Times berkomentar bahwa "kefasihan tiada tara" yang ditampilkan oleh King, "seorang orator tertinggi" dari "jenis yang begitu langka sampai-sampai hampir terlupakan pada zaman kita," membuat para pendukung segregasi menjadi malu dengan mengilhami "hati nurani Amerika "dengan keadilan gerakan hak-hak sipil.[18]

Warisan[sunting | sunting sumber]

Pawai di Washington memberikan tekanan lebih banyak pada pemerintahan Kennedy untuk mengajukan undang-undang hak-hak sipil di Kongres.[19] Buku harian dari Arthur M. Schlesinger, Jr., yang diterbitkan secara anumerta pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Presiden Kennedy khawatir bila pawai gagal menarik sejumlah besar demonstran maka akan memperlemah upaya menegakkan hak-hak sipil yang sedang dilakukannya.
Menyusul pidato dan pawai yang sukses, King mendapat julukan Person of the Year dari majalah TIME pada tahun 1963, dan pada tahun 1964, ia menjadi tokoh termuda yang pernah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. [20]
Pada tahun 2003, Dinas Taman Nasional memasang ubin marmer bertulis untuk memperingati lokasi pidato King di Lincoln Memorial.[21]
Pada tahun 2004, Perpustakaan Kongres Amerika Serikat menghormati pidato ini dengan memasukkannya ke dalam Registrar Rekaman Nasional Amerika Serikat.

Kemiripan dengan pidato-pidato lain[sunting | sunting sumber]

Bagian penutup dari pidato King sebagian menyerupai pidato Archibald Carey, Jr. yang disampaikannya di Konvensi Nasional Partai Republik 1952. Kedua pidato diakhiri dengan mengambil satu baris dari bait pertama himne patriotik populer Samuel Francis Smith, "America" (My Country' Tis of Thee).[22] Kedua pidato juga menyebut nama gunung yang sama, tempat asal "biarkan kebebasan berdering".[23]

Sengketa hak cipta[sunting | sunting sumber]

Pidato ini disiarkan secara luas kepada pemirsa televisi dan pendengar radio. Oleh karena itu, muncul kontroversi mengenai status hak cipta dari pidato ini. Bila penyampaian pidato tergolong "publikasi umum", maka pidato ini sudah masuk ke dalam kategori domain publik karena King tidak pernah mendaftarkan pidatonya ke Panitera Hak Cipta. Namun bila pembacaan pidato tergolong sebagai "publikasi terbatas", maka hak cipta tetap berada di tangan King. Keragu-raguan tersebut menyebabkan terjadinya perkara hukum Estate of Martin Luther King, Jr., Inc. v. CBS, Inc. yang menetapkan bahwa pihak King adalah pemegang hak cipta dan berhak menuntut. Kedua belah pihak kemudian berdamai. Penggunaan pidato yang tidak berlisensi atau sebagian dari isinya masih dianggap sah pada beberapa situasi, terutama di bawah ruang lingkup doktrin seperti penggunaan wajaratau penggunaan adil. Berdasarkan hukum hak cipta yang berlaku, pidato ini akan tetap berada dilindungi hak cipta di Amerika Serikat hingga 70 tahun sejak kematian King, sampai tahun 2038.

Referensi[sunting | sunting sumber]

BELAJAR POLITIK ADU DOMBA ALA MURTOPO



HOAX, katanya mau diperangi, bila benar akan diperangi maka berarti akan memerangi Pemerintah, karena kata Pengamat Politik dan Demokrasi Rocky Gerung bahwa bahwa paling banyak produksi hoax justeru Pemerintah. Hey ... !Nanti dulu ... , emang pernyataan Gerung benar .... ?. Mari kita pelajari sejarah. Mari kita simak apa yang dikatakan oleh Prof. Salim Said. Cuplikan dari ceramah itu seolah membenarkan bahwa Pemerintah yang lalu lalu memang memproduksi hoax besar besaran. Tetapi untuk menghindari delik aduan maka maka buru buru harus kita katakan bahwa Rezim Jokowi adalah rezim yang paling bersih dari hoax. Insya Allah kita semua selamat.

Pemerintrah yang lalu lalu mulai dari Orde lama hingga Orde Baru bahwa Pemerintah itu adalah raja hoax, kita diadu domba dan untuk itu diproduksi hoax secara besar besaran. Untuk menghacurkan sisa Masyumi dan PRRI maka ditunjuk Komunis sebagai bagian yang mengejarnya dan menghabisinya. Ketika pecah pembrontakan oleh PKI maka Pemerintah memanfaatkan DI TII, dan berhasil. Tercatat dalam sejarah Golkar pernah merangkul dan memanfaatkan preman untuk  dimanfaatkan dalam rangka mengempiskan PPP karena semakin mendapat dukungan dari Islam. Dan pra pereman ini berhasil menghancurkan PPP dari luar maupun dari dalam. Sayang para preman dianggap kebablasan, untuk itu dibuatlah Petrus atau penembak misterius. Dan berhasil. Pemerintah mengadu domba mereka yang memang secara politis bertentangan.

Di era sekarang banyak juga kita mengalami ketegangan ketegangan, ada pihak pihak yang mengejar ngejar pihak lain. Seperti mengusir ulama yang akan ceramah dan lain lain. Saya tidak ingin mengatakan bahwa dalam ketegangan itu apakah Pemerintah ikut campur tangan dengan alasan tertentu umpamanya. Harus saya tegaskan bahwa saya tidak tahu. itu saja ....

Yang kita harapkan adalah bahwa semoga Pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan hukum secara adil, sehinggo Bangsa dsab Negara kita semakin kondusif.

DEBAT KUSIR POLITIK IDENTITAS



POLITIK IDENTITAS itu sebenarnya untuk menyerang para pendukung Prabowo, tetapi Misbahun yang juga dikenal sebagai politisi pendukung Jokowi Ma'ruf Amin nampaknya terlalu bersemangat menyerang politik identitas, sehingga sikap dan kata katanya tak terkontrol, saya tak menganggap diskusi ini serius, melainkan hanya  debat kusir saja, debat di kedai kopi, sehingga Misbahun yang sesungguhnya politisi lebih senior di tampilan itu tak perlu malu.

Dalam kontestasi Pilpres RI  2019 menampilkan dua pasangan, yaitu Jokowi - KH Ma'ryuf Amin berhadapan dengan Prabowo - Sandi, Pasangan Jokowi - Ma'ruf Amin berhasil memmborong semua partai, dan pasangan Prabowo - Sandi mengambil Partai yang tersisa sebagai pengusung mereka. Dengan segala pertimbangan politis yang demikian seksama akhirnya Jokowi memilih berpoasangan dengan KH. Ma'ruf Amin, tentu saja dengan pertimbangan bahwa KH Ma'ruf Amin seorang ulama senior, sebagai Ketua Majelis Ulama, dan sebagai Dewan Syuro NU, keulamaannya tak dapat diragukan lagi.

Bagikan terpaksa menerima yang tersisa, setelaj ijtima' para ulama gagal menentukan untuk memanujkan ulama sebagai pasangan Prabowo, apalagi yang bersangkutan menolak untuk dicalonkan, maka setelah terjadi negosiasi politik, maka muncullah Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo. Melihat pasangan masing masing maka justeru yang berpasangan dengan ulama adalah Jokowi - Ma'ruf Amin. Memasangkan Ma'ruf Amin bisa ditebak adalah diharapkan untuk bisa mendulang suara dikalangan Islam. Beranjak dari identitas pasangan maka akan salah alamat bila tuduhan Politik Identitas ditujukan kepada Prabowo - Sandi, karena yang mempraktekkannya adalah Jkpwi - Makriuf Amin.  Tetapi ya sudahlah anggap saja ....


CLASH OF CIVILIZATION (wikipedia)


Huntington began his thinking by surveying the diverse theories about the nature of global politics in the post-Cold War period. Some theorists and writers argued that human rights, liberal democracy, and the capitalist free market economy had become the only remaining ideological alternative for nations in the post-Cold War world. Specifically, Francis Fukuyama argued that the world had reached the 'end of history' in a Hegelian sense.
Huntington believed that while the age of ideology had ended, the world had only reverted to a normal state of affairs characterized by cultural conflict. In his thesis, he argued that the primary axis of conflict in the future will be along cultural lines.[9] As an extension, he posits that the concept of different civilizations, as the highest rank of cultural identity, will become increasingly useful in analyzing the potential for conflict. At the end of his 1993 Foreign Affairs article, "The Clash of Civilizations?", Huntington writes, "This is not to advocate the desirability of conflicts between civilizations. It is to set forth descriptive hypothesis as to what the future may be like."[2]
In addition, the clash of civilizations, for Huntington, represents a development of history. In the past, world history was mainly about the struggles between monarchs, nations and ideologies, such as seen within Western civilization. But after the end of the Cold War, world politics moved into a new phase, in which non-Western civilizations are no longer the exploited recipients of Western civilization but have become additional important actors joining the West to shape and move world history.[10]


Terjemahan oleh Google:
 
Huntington memulai pemikirannya dengan mensurvei berbagai teori tentang sifat politik global dalam periode pasca-Perang Dingin. Beberapa ahli teori dan penulis berpendapat bahwa hak asasi manusia, demokrasi liberal, dan ekonomi pasar bebas kapitalis telah menjadi satu-satunya alternatif ideologis yang tersisa bagi negara-negara di dunia pasca-Perang Dingin. Secara khusus, Francis Fukuyama berpendapat bahwa dunia telah mencapai 'akhir sejarah' dalam pengertian Hegelian.
Huntington percaya bahwa ketika zaman ideologi telah berakhir, dunia hanya kembali ke keadaan normal yang dicirikan oleh konflik budaya. Dalam tesisnya, ia berpendapat bahwa poros utama konflik di masa depan akan berada di sepanjang garis budaya. [9] Sebagai perpanjangan, ia berpendapat bahwa konsep peradaban yang berbeda, sebagai pangkat tertinggi identitas budaya, akan menjadi semakin berguna dalam menganalisis potensi konflik. Pada akhir artikel 1993 Urusan Luar Negeri-nya, "The Clash of Civilizations?", Huntington menulis, "Ini bukan untuk menganjurkan keinginan konflik antar peradaban. Ini adalah untuk menetapkan hipotesis deskriptif seperti apa masa depan mungkin seperti. "[2]
Selain itu, benturan peradaban, bagi Huntington, merupakan perkembangan sejarah. Di masa lalu, sejarah dunia terutama tentang perjuangan antara raja, negara dan ideologi, seperti yang terlihat dalam peradaban Barat. Tetapi setelah berakhirnya Perang Dingin, politik dunia bergerak ke fase baru, di mana peradaban non-Barat tidak lagi menjadi penerima eksploitasi peradaban Barat tetapi telah menjadi aktor penting tambahan yang bergabung dengan Barat untuk membentuk dan menggerakkan sejarah dunia. ]

Thursday, December 6, 2018

Manuel Castells : THE POWER OF IDENTITY.



Book Review: The Power of Identity (Manuel Castells)

The Information Age: Economy, Society, and Culture Volume II:
The Power of Identity
By: Manuel Castells

The Power of Identity is an interesting and complex effort to develop a new understanding of how groups and individuals are interrelated through various mediums of communication. The suggestion of the title and the three volumes is indicative of the complexity and thoroughness of his examination. The three volumes employ analytic examinations from sociology, anthropology, and political science. The trilogy is comprised of, The Rise of Network Society (1996), The Power of Identity (1967), The End of Millennium (1998). The three are the result of his earlier research threads from the 1990s, The Information Age: Economy, Society, and Culture.

The enormity of his examination of network culture and its impact/manipulation on/by society has become a recognized cybernetic theoretician and philosopher. The fundamental concept that runs throughout Volume II is the dichotomy between the “self” and the power of the search for meaning within society: “The rise of the network society and the growing power of identity are the intertwined social processes that jointly define globalization, geopolitics, and social transformation.” Volume II explains how those processes differ within and between societies and cultures in the twenty-first century. Castells examines the similarities and differences in order to under the umbrella of “identity.” In Castell’s process of examination, we can clearly understand that nothing is left behind. Indeed, territoriality – i.e., origins – remains. We identify ourselves territorially by village, state, and/or nation through every medium of communication. The inherent need for self-identification/affiliation is inherently unifying and/or disintegrative. He uses an example that is personally familiar in Belgium where I lived.

The inherent tension in Belgium between Wallonie and Flemish is ever present and disruptive. Belgium itself is comprised of numerous communes. I lived in two. One, Wezembeek-Oppem was highly Wallonie where Dutch was the exclusive and official language. I moved to Tervuren where the primary medium was French and, frequently, English. Castells correctly observes that the two communities “cannot resolve the differences resulting from their historical marriage of convenience” where every public school requires and uses Dutch as its medium of communication even though French is as common.

In the USA, we all remember the divisive nature in Canada in the province of Quebec which remains unresolved. I was moved to amusement in Normandy when the train station attendant demanded that I speak to her only in French! When I lived in Thailand, Chinese merchants paid exorbitant taxes for anything that was not printed in Thai even though the majority of the population spoke fluent Chinese – Mandarin! Thus, in every case, individuals identified themselves by language and society in a manner that exactly parallels Castell’s observations.

What Castells adds in adds to our understanding is the importance that language and other cultural elements contribute to our concept of identity and affiliation. It is the process of affiliation that Castells adds that defines the importance and strength of the bond(s) of identity. He devotes considerable attention and care to clarify how that happens in society in a manner that we unconsciously or consciously recognize as defining: religion, nationality, geography, family, ethnicity. Social movements to the extent that they define or attempt to define social issues can become inheritors of the implicit strength of these societal bonds.

These bonds and the social movements which attempt to represent social issues within such the framework of such bonds are more often than not indicative of thought and behavior. Castells gives us clues and indicators of how we might identify social movements within the social context of identity. For example, the recent rise of Arab religious fundamentalism is a distinguishing polemic that defines behavioral and political boundaries between and among groups that defines the strength of the bonds and the group identity. Castells gives us a masterful insight into the development of religious fundamentalism and how it exacts unquestioned loyalty and blind religious devotion to scriptural (Koranic) interpretation that may not be as direct. Thus, some Arab religious fundamentalist social movement members are compelled by the strict ideas of the social movement. Castells indicates that such strict adherents, Arab fundamentalists can easily use violence to enforce adherence.

While Castells is examining the contemporary history of such groups, there are historical similarities to historical Jewish and Christian practices. Thus, strict fundamentalism is not exclusively found in the Arab community; and, Castells gives us some insight into the broad nature of fundamentalism extending to the period of the Christian crusades. Thus, there are many historical examples. Castells core issue is with the very nature of fundamentalism as an identity reference and its consequences.
Through Castells’ analysis we understand all groups in the context of communication and the medium of language. Spanish history is one, but not the only, historical area discussed. The Catalan national identity is distilled from our understanding of the collective Spanish culture. This level of self and group identity strong enough to result in civil guarantees granted by Spain in 1932 approving a statute of autonomy re-stating liberties, self-government and cultural/linguistic autonomy to Catalunya. The inherent social movement distinctions of Catalunya and Basques, according to Castells, was an powerful trigger for the Spanish civil war of 1936-1939. We are reminded of the similarity to the American historic struggle of our own indigenous groups of American Natives and our contemporary controversy over historic Mexican cross border migrations through their (i.e., Mexican and Indian) historic homelands now a part of the United States.

Castells point is to explain the importance of identity and group affiliation in the context of geography and ethnicity. He provides us with numerous examples and detailed explanations for Germany, France, Yugoslavia, Ethiopia, Czechoslovakia, Nigeria, Indonesia and numerous other countries. His most powerful observation in this context is that citizenship does not equate with nationality, at least exclusive nationality. What Castells adds to our understanding is an ability to identify these group affiliations, allegiances, identities, memberships in the information age through the medium of communication and language. He makes the suggestion that, “language…is a fundamental attribute of self-recognition, and…establishment of an invisible national boundary less arbitrary than territoriality, and less exclusive than ethnicity.” It is a core principle of his “Power of Identity”.

As we all now know, we can identify these identities through a variety of communication vehicle. At its core, language is the most basic element of Castell’s networked society. According to Wade Davis in The Wayfinders, language is humanity’s earliest invention and it is why ancient wisdom matters in the modern world. Davis further amplifies Castells in a discussion of many linguistic traditions as the distinguishing factor of identity in the ancient world.

Castells treatment of numerous examples of his principles of identity spans our contemporary understanding of social movements. He identifies Zapatistas as the “First Informational Guerrilla Movement.” Lest we forget that Emiliano Zapata, Dr. Ernesto “Che” Guevara, and José Doroteo Arango Arámbula (aka Poncho Villa) all used the media and language to organize their respective social movements. Indeed, José Arámbula never traveled without the press and front page coverage in all the US news media. Indeed, I still have my father’s military records when he acted as Gen. Pershing’s Spanish translator during the US Army Horse Cavalry’s effort to capture José Arámbula along the Texas-Mexican border. Arámbula, after all, didn’t need Twitter. He had the front page of every major newspaper.

A number of militia and “patriotic” groups are further examples of Castell’s principles: National Rifle Association, John Birch Society, KKK, Posse Comitatus, etc. are further examples of highly defined and radical groups that used the power of identity to attempt radical change in the United States. I encountered several such groups when I was a career Federal employee from political action (i.e., NOW, la Raza, etc.) to radical groups (Hanafi Muslims, Sunni Islamists, etc.). Castells’ treatment of such groups is extensive covering groups in Japan (i.e., Aum Shinrikyo), to al-Qaeda. Such ethno/religious groups are discussed along with radical anti-globalization and radical environmental movements within the context of Castells’ identity framework.

The power of identity is pervasive and Castells shows how it can cover an even broader group of social movements, family and sexuality (i.e., sexual preference) facilitated by the networked society using the power of the internet. In this context we are able to understand that things do change and within the nature of inter-group rivalry.

According to Castells and most other sociologists, Patriarchalism is one of the fundamental structures of contemporary society. It is important to also make note of matriarchal societies found in American native tribal groups. Inherent in the patriarchal group framework is the subjugation and repression of women and the changes in the workplace motivated by economic realities that have eroded or replaced the male dominated societies found world-wide.

Despite Castells discussion, such practices remain in less developed societies in Africa and the Indian subcontinent. Thus, we are left with the conclusion that sometimes Wade Davis’ “Ancient Wisdom” isn’t always “better” wisdom. Castells comparison of family statistics is largely dominated by references in more developed environments. However, less developed environments continue to exhibit a reluctance to change and continue “business as usual.”

Yet Castells is prophetic in his observation of the power of economic forces to facilitate change. This is considerably important regarding the employment of women who now dominate the workforce. The incorporation of women in the workplace is not without hardship. In the USA, statutory enactment to protect women demonstrates the strength of social pressures to continue group practices that have become unacceptable: sexual and wage discrimination. Indeed, discriminatory actions based on group identity is now illegal at least in the USA. Yet it still supports Castell’s model of identity even if illegal and unacceptable.

Generally, Castells treatment of the power of identity across time, ethnicity, and nationality is powerful. He concludes with observations regarding the identity of the State and the role of government. We are left with Castell’s vision of the nation-state in a Marxian framework where the power of commerce frequently replaces that of the state. International governance and multi-lateralism are seen as necessary and outgrowth’s of the state’s role in society. We only need to look at Somalia as an example of a failed state, where the power of identity recognizes no national boundaries – powerful confirmation of Castells’ models of identity.

Castells’ concluding chapter addresses the nature of social change in the information society. He makes the chilling observation that, “the dissolution of shared identities…tantamount to the dissolution of society…may be the state of affairs in our time.” Castells gives us a vision of the future and, possibly, his next book,
“It is in these back alleys of society…that I have sensed the embryos of a new society,
Labored in the fields of history by the power of identity”
As an afterthought, we realize that is now possible to identify and map these identities in real time. Indeed the very use of social media gives us the ability to map group relations in real time in order to anticipate or catalog the “new society” that Castells envisions.

Tuesday, December 4, 2018

AKAL SEHAT DAN POLITIK IDENTITAS.



DENGAN MENGUTIP habis habisan logika Barat yang mengatakan Islam adalah teroris dan intoleran, sudah terlalu banyak politisi Indonesia yang bermunculan secara terang terangan akan kebencian serta semangat yang digerakkan untuk menolak hukum bernuansa Islam atau Perda yang berbau syari'ah dan palitikpun disebut politik identitas manakala ada kelompok atau politisi yang mencoba untuk mengajak mengacu kepada hukum Islam dalam  berpikir, berbuat, termasuk di dalamnya juga dalam berpolitik. Islam dan identitas Islam nampaknya harus dienyahkan dalam berpolitik, bernegara. Ini sama saja dengan upaya yang terang terangan untuk memberangus Islam, dalam berbangsa dan bernegara, seperti semangat yang digelorakan penjajah dalam masa penjajahan kolonial tempo dulu.

Dahulu ulama menggerakkan para mujahid unrtuk bergerak serentak melawan penjajah dan gerakan ini melahirkan Kemerdekaan, Waktu perang melawan penjajah untuk penyemangat para mujahid meneriakkan pekik Merdeka dan Allahu Akbar. Kemerdekaan berhasil diraih,walaupun syuhada banyak berguguran. Para syuhada maju ke medan perang setelah mendapatkan petunjuk dari para ulama bahwa perang melawan penjajah dalam rangka merebut kemerdekaan itu adalah jihad da syahid. Dengan mengutip narasi Barat. maka kini para politisi kita di Indonesia banyak bermunculan menyuarakan ketidak sukaan terhadap semangat jihad tersebut. Dan semangat itu disbut sebagai politik identitas.

Semangat mujahid 212 adalah termasuk politik identitas. Sesuatu yang kini mulai secara terang terangan sebagai sesuatu yang harus dibuang jauh jauh dari aktivitas politik dan Pemerintahan. Ummat Islam disudutkan dengan kalimat yang sering digunakan oleh Pemerintah Kolonial ketika mereka menjajah kita. Demikian Pada Saat Ini. Tiba tiba ada reuni 212 tanggal 2 Desember 2018 yang penuh dengan semangat dan nuansa jihad, yaitu sesuatu yang tak disukai dan bahkan dimusuhi serta akan dienyahkan. Tiba tiba Rocky Gerung dengan kalimat kalimatnya yang khas mengatakan bahwa reuni 212 ini  merupakan " Reuni Akal Sehat ". Apalagi sejumlah tokoh non muslim ikut hadir dalam pertemuan yang bermartabat itu.


Penguasa dan Pemilik Media Massa besar di Indonesia menganggap reuni 212 sebagai pristiwa kecil yang tak layak diberitakan secara besar (titik). Padahal bagi dunia pristiwa ini adalah pristiwa luar biasa dan sangat langka. Belasan juta manusia berkumpul tampa meninggalkan sampah, kecuali sejumlah fitah (hoax) yang disebarkan oleh sejumlah orang yang tak menyukainya, dan dianggap sebagai masyarakat sebagai berita sampah.

Seyogyanya Pemerintah memberikan apresiasi yang setinggi tingginya kepada semua peserta reuni karena telah mempertunjukkan tingkat peradaban yang sangat luar biasa tingginya, jutaan manusia berkumpul, tetapi tidak menyusahkan kepolisian sedikitpun, karena mereka sudah memiliki kemampuan untuk mewasiti diri mereka masijg masing. Mereka tertib ketika datang, mereka tertib ketika pulang dan merekapun tertib selama mengikuti acara. Dan apara pengawaspun mengatakan bahwa mereka tak menemukan delik delik yang harus dipersoalkan. Padahal jutaan manusia itu sesungguhnya datang dari jauh dengan menuntut sesuatu yang yang sangat fundamnetal, yaitu mereka menuntut keadilan. 









PENGUASA YANG MISKIN PUJIAN



FILM KERAJAAN yang sempat saya tonton para raja selalu dhujani pujian, "Ampun Tuanku Patik Berdatang Sembah ....  " Sebelum seseorang menyampaikan apa yang harus disampaikan kepada raja maka harus dibuka dengan ucapan maaf ...,  karena apapun yang dilakukan dan dan diucapkan adalah kesalahan semata mata, dan memposisikan sebagai makhluk hina yang bernama Patik, Patik adalah anak anjing jelek yang penyakitan .... sehingga tak pantas berdatang sembah kepada raja. Karena bertahun kita dipimpin oleh para Raja Raja ... ganti berganti sehingga masih membekas, sehingga kalaupun kita telah membentuk Indonesia ini sebagai Negara Republik dan bahkan tercatat sebagai Negara yang mengalami kemjuan besar dalam bidang kedemokrasian. Nasib pemimpin di negara Demokrasi akan mengalami miskin pujian.

Setidaknya saya mencatat dalam forum diskusi ILC telah dua kali ada pendukung rejim penguasa menegur narasumber akademisi untuk memposisikan diri benar benar di tengah tengah, sehingga penguasapun tidak kehilangan dan bahkan merasa mengalami kemiskinan pujian, mereka yang lupa menyampaikan pujian kepada penguasa. Rocky Gerung sebagai pengamat politik mengaku kesulitan mendapatkan alasan untuk memuji penguasa Republik ini, sementara Efendi Gazali berputar putar bicara mengatakan bahwa beliau tak lupa menyampaikan pujian, walaupun keritiaknnya memang jauh lebih pedas. Kira kira demikianlah posisi pendukung penguasa bisa boleh digambarkan.

Padahal tidak ..., puja puji setinggi langit sebenarnya telah menjadi konsumsi umum, apatah lagi sering disertai dengan klik pencitraan tentang kesederhanaan, kemanusiaan dan bahkan kesholehan telah secara sengaja dipertontonkan kepada khalayak umum. Dekatnya kepada rakyat kecil bahkan anak anak, menaburkan hadiah kepada kerumunan kerumunan atau mereka yang brpapasan dan menunjukkan kekecilan diri, beliau tak segan segan melemparkan hadiah, karena kebiasaan beliau mempersiapkan hadiah manakala akan bepergian ke tempat tempat yang memungkinkan jumpa dengan para jelata.

Dan yang lebih dahsyat beliau selaku pemimpin tertinggi di  Republik ini ternyata memiliki kebiasaan sebagai Imam Sholat. Proses seseorang yang menjadi imam sholat di musholla kecil saja, mengalami proses yang demikian panjang. Muali dari keseharian dalam berprilaku, kelurusan dalam membaca al-Quran, pengetahuan yang cukup mendukung dan banyak lagi yang lainnya. Dan pimpinan kita telah sampai ke tempat yang sangat terhormat itu.   Sayang tibanya beliau ke Pengimaman dalam pelaksanaan sholat tidak didukung dengan kemampuan pengucapan lafal bacaan al-Quran, sehingga bukan pujian yang didapat melainkan kekecewaan, karena merusak kekhusukan  serta kesucian ibadah sholat, karena sholat dijadikan ajang pencitraan, dan hasilnya jelas adalah kelangkaan pujian.

Demikian sulitnya ummat Islam menuntut pewrlakuan yang adil dari rejim penguasa, sulit bagi Efendy Gazali mencarikan alasan mengapa jamaah reuni 212 itu bersedia bersusah payah mendatangi monas, selain tenaga juga membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Lalu dihina, diejek dan dicaci sebagai demo bayaran rendah Rp.100.000 perorang sungguh suatu hinaan yang luar biasa, belum lagi dari segi jumlah monitor pemakaian HP di sekitar Monas menunjukkan angka 13 juta pemaskaian nomor HP pada saat berlangsungnya acara itu, tetapi berbagai survey menyebutnya hanya dihadiri oleh beberapa ribu saja, bahkan tidak lebih dari peserta senam poco poco yang diselenggarakan oleh Jokowi. Dan yang lebih hebat lagi adalah seorang pejabat yang meminta diludahi mukanya, bila reuini 212 dihadiri oleh lebih dari seribu orang.

Upaya untuk menggagalkan reuni ini telah dilaksanakan melalui berbagai jalur dan berbagai cara, termasuk menggunakan mulut dan pemikiran alumni 212 yang sekarang merepat ke Pemerintah. Tetapi pristiwa yang paling menjijikkan adalah kesepakatan media massa untuk tidak menyiarkan pristiwa langka di dunia ini, karena menyembuynyikan pristiwa ini akan tercatat sebagai sesuatu yang lebih buruk dari pembodohan bangsa. Lalu dengan alasan apa pula kita marah karena miskinnya puji puja,