Friday, October 27, 2017
MENTAL MENERABAS
1.
ERA ORDE BARU memang hebat, Presiden Suharto bersama rezimnya memiliki Program yang disebut Repelita, Rencana Pembangunan untuk dua puluh lima tahun kedepan, dengan tahapan serta target yang jelas. Tetapi tetap saja ada pihak yang melancarkan kritik, karena pembangunan lima tahun dilaksanakan di luar kemampuan bangsa untuk melaksanakan, karena seharusnyanya manusianya dahulu yang dibangun. baru yang lain menyusul. Benar ternyata membangun itu gampang tetapi membangun mental untuk melaksanakan serta memelihara hasil pembangunan jauh lebih sulit, membangun mental manusia, ini yang kita gagal melaksanakannya. Maka pembangunan dilaksanakan hampir identik dengan pengrusakan.
Menyadari kekeliruan maka muncullah gagasan besar yang disebut reformasi. Untuk membalikkan fakta kegagalan teori terdahulu Hasilnya justeru lebih mengerikan. Ketatanegaraan benar benar dikocok ulang, dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai ketok majik. Mental kita bukan hanya mental menerabas, tetapi lebih parah. Yaitu mental karup, kitamenjadi bangsa yang tak sabaran. Ingin instan dengan segala kepalsuan, tetapi anehnya dalam kepalsuan itu justeru ingin tercatat sebagai pahlawan.Ingin dicatat bahkan memaksa, kita semua.
Mental menerabas yang sekarang sepertinya terbungkus oleh kebenaran Undang Undang dan aturan lainnya. Setalah kita menyadari diri tak memiliki kemampuan untuk mewujudkan ambisi dan hawa nafsu kita untuk disebut sebagai bangsa yangmaju dan modern. Dengan cara mempersilakan bangsa lain melakukan sesuatu yang seolah itu sebagaipembangunan. Apa yang ada di negeri orang harus ada di negeri kita, berapapun harga yang harus kita bayar. Demi agar tercatat pada lembaran sejarah sebagai pembangun martabat bansa. Sayang niat baik ini lebih dikarenakan hawa nafsu bangsa ini. Sepertinya bukan murni bekerja untuk rakyat.
2.
Kalau andainya bekerja murni untuk rakyat, maka dipastikan rakyat mendapatkan kebebasan untuk berpendapat, Bila bukan bekerja unyuk rakyat, maka akan seperti pada masa Orde Baru Pemerintah adalah penentu cara berpikir rakyat Pemerintah menjadi penentu tafsiran Pancasila yang lalu merumuskan Pedoman Pemahaman dan Pelaksanaan Pancasila, yang manakala terdapat perbedaan maka maka tuduhannya adalah subversib, sekaligus anti pembangunan dan tuduhan lainnya. Sebaiknya memang Penafsiran Pancasila diserahkan kepada kepada rakyat, dan Pemerintah tunduk kepada pendapat dan keinginan rakyat.
Pemerintah yang pro rakyat tentunya mematuhi kehendak rakyat, bukan sebaliknya. Memang untuk mampu memahamikeinginan rakyat dan bekerja untuk rakyat dibutuhkan kemampuan dan sensitivitas serta jiwa demokratis yang tinggi, sehingga sejalan dengan rakyat, apalagi rakyat yang majemuk seperti Indonesia ini. Dibutuhkan keterampilan memilah pendapat dan keinginan rakyat, karena hasil Pemilihan Legislatif dan Pilpres sekalipun nampaknya belumlah secara representatif menggambarkan pendapat dan keinginan rakyat, karena di sana sini terdapat kelemahan dalam pelaksanaannya. Itu pula sebabnya maka Pemerintah sendiri mengalami kesulitan untuk naik kelas.
Sangat mengecewakan bila Pemerintah tak kunjung naik kelas, apalagi bila mengalami turun kelas.
Dahulu dalam rangka meramaikan pasar dan aktivitas perekonomian, utamanya di pasar tradisional apa pasar modern maka Pemerintah membentuk Pecinan. Para penduduk minoritas pendatang dari Cina segera dilokalisir di suatu tempat, dan dipersilakan para penduduk Pecinan itu buka usaha masing masing di daerah itu. Rahasia umum manakala Pemerintah membentuk pecinan dan masyarakat minoritas pendatang dari Cina itu membuka usaha di situ maka daerah Pecinan itru seperti disulap layaknya menjadi ramai. Ada ada saja yang mereka jual. Dan daerah itu seperti disulap layaknya menjadi ramai, jadilah itu pusat kegiatan perekonomian. Artinya geliat perekonomian masyarakat masih belum memiliki kemampuan untuk mengidupkan aktivitas perekenomian,
Akan nampak diberbagai Kecamatan, yang dahulu keturunan China atau Tionghoa tak diperbolehkan bertempat tinggal di Kecatan, melainkan setidaknya tinggal di Kabupaten Dan Kota. Nampak geliat perekonomian di Kecamatan akan sangat tergantung keberadaan atas berapa orang ketrunan Cina yang tersissa di kota Kecamatan itu, semakin berbilang orangnya, semakin ada nampak geliat perekonomian menggejala, semakin sedikit dan apalagi tak ada, maka pasarpun senyap. Semestinya itu pada tahun 1960-an sudah terpikirkan oleh Pemerintah. Presiden Soeharto dalam banyak hal untuk mengelola perekonomian lebih melirik para Taipan. Ketimbang bangsa pribumi.
3.
Memang para Taipan dan masyarakat Ketrunan Cina liannya memiliki etos kerja yang tinggi, selain mereka memiliki keahlian mengenal rempah rempah serta bagbagai bumbu lainnya untuk mengolah makanan dan kuliner lainnya. Kuliner ala Tionghowa itu sangat mudah diterima oleh rakyat, Sementara aneka masakan daerah mengalami kesulitan teramat sangat untuk diterima oleh masyarakat, sekalipun sejak dahulu masyarakat mengenal kuliner jajan pasar, tetapi sepertinya tak banyak mengalami kemajuan, bahkan satu persatu jajan pasar itu menghilang atau setidaknya sulit dicari.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment