By Asyari Usman
Saya tak menduga TKN Jokowi-Ma’ruf (Ko-Ruf) bisa secepat ini kehabisan bahan kampanye. Semula saya berasumsi bahwa kubu petahana akan selalu punya topik yang berjubel-jubel dan berkualitas. Sebab, sebagai penguasa, mereka memiliki akses yang tak terbatas ke pundi-pundi data dan informasi tentang situasi negara.
Ternyata anggapan saya keliru. Erick Thohir mulai mengais-ngais tong sampah untuk mencari rimah-rimah sortiran bahan kampanye mereka. Terpaksa dilakukan karena tidak ada lagi yang bisa mereka sajikan.
Mau bicara ekonomi, tak percaya diri. Karena memang perkeonomian Indonesia hancur-lebur. Semua keperluan pokok diimpor. Beras, gula, jagung, garam, buah-buahan, sayur-mayur, dlsb. Apa saja keperluan yang terlintas di kepala kita, semuanya sekarang telah masuk ke daftar impor.
Sebaliknya, semua sumber daya alam yang kita miliki dijual murah kepada asing. Mereka hanya perlu selembar izin kuras tambang untuk mengeruk dan kemudian mengapalkan isi perut bumi Indonesia ke negara asal mereka. Biaya operasinya murah, ada insentif pajak, kemudian bisa mengurangi pengangguran di negara mereka karena bisa bebas membawa tenaga kerja mereka sendiri.
Terus, beban hutan luar negeri yang membuat semua kita ngeri. Ngeri bagaimana nanti membayarnya. Apalagi? Produktivitas? Silakan buka sendiri data Biro Pusat Statistik (BPS). Lapangan kerja? Makin parah kalau ini yang mau dibahas di panggung kampanye Ko-Ruf.
Daya beli rakyat melorot. Lonjakan harga-harga akibat pelemahan nilai rupiah semakin menghimpit. Kebalikannya, para pekebun sawit dan karet sedang mengalami periode yang paling parah setelah harga buah segar terbanting ke angka 600 rupiah perkilo. Mau diikut anjuran Jokowi agar kebun sawit diganti dengan tanaman petai atau jengkol, tentu tidak bisa bim-salabim.
Apalagi? Prestasi di bidang pelayanan kesehatan? Tambah runyam kalau ini yang dibawa kampanye. BPJS Kesehatan sarat hutang kepada penyedia layanan kesehatan, i.e. rumah-rumah sakit. Banyak yang terancam tutup karena tak sanggup lagi memikul piutang yang jumlahnya sangat besar bagi mereka. Ada yang berpiutang 3 miliar, 10 miliar, dsb.
Bagaimana dengan politik luar negeri? Ini lagi, jeblok! Indonesia sedang sakit gigi, tak kuat berbicara soal penyiksaan umat Islam Uighur di Provinsi Xinjiang. Kekejaman dan kebiadaban pemerintah RRC ini berlalu begitu saja. Jokowi tak bisa bilang apa-apa gara-gara banyak pinjam duit dari Beijing. Para diplomat Indonesia banyak yang menganggur karena tidak ada yang bisa mereka diplomasikan di pentas internasional.
Itulah prestasi Presiden Jokowi.
Tidak ada yang bisa dijadikan headline oleh Erick, ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Ko-Ruf. Sekarang, dia dan timnya tidak lagi mampu menjumpai publik dengan sajian yang substansial. Dengan menu yang elegan.
Pemerintah tidak memiliki kompetensi ekonomi yang bisa dibanggakan di depan umum. Mereka menjadi buntu untuk berbicara tentang kebijakan ekonomi. Atau, tentang paket moneter yang akan menyelematkan nilai rupiah sehingga neraca pembayaran impor tidak menyakitkan.
Hari ini, yang tersisa untuk dikampanyekan TKN Ko-Ruf adalah gossip-gosip tentang Prabowo dan Sandi. Tentang hal yang remeh-temeh. Tentang bisa atau tidak Prabowo menjadi imam sholat. Tentang foto keluarga. Tentang cara Prabowo berbicara. Dan isu-isu sampah lainnya yang mereka kais dari tong yang mulai mengeluarkan bau busuk.
Tak terbayangkan bagaimana Erick Thohir akan mengisi hari-hari kampanye yang masih tersisa panjang sampai awal April 2019.
Sedangkan Prabowo-Sandi semakin bersemarak. Semakin dinanti-nantikan masyarakat. Semakin membludak ke mana saja mereka pergi.
Paling-paling TKN Ko-Ruf akan menunggu-nunggu dan mengintip salah ucap Prabowo atau Sandi untuk dijadikan kepala berita di media-media besar yang telah mereka kooptasi. Media-media yang mereka kerangkeng setelah mereka kebiri.
Atau, ya itu tadi, mengais-ngais tong sampah siapa tahu masih ada gossip-gosip murahan tentang Prabowo-Sandi yang bisa digoreng. Tapi, saya yakin Erick tak akan mau dirinya dibuat stress oleh kampanye Ko-Ruf. Paling dia biarkan saja.
(Penulis adalah wartawan senior)
No comments:
Post a Comment