Dr. ALAMSYAH, Yang saya kenal sebagai ilmuan Muda NU, beliau juga sekarang dipercaya sebagai Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum Islam Universitas Islam Negeri Raden Intan Bandar Lampung. Terkait dengan keputusan dan gagasan NU untuk tidak lagi menggunakan kata kata Kafir Bagi Non Muslim. Nampaknya Dr. Alamsyah akan memberikan pencerahan. Semoga ini tidak merugikan strategi dalam politik dan tidak menyesatkan dalam aqidah. Hapus Kata Kafit Dalam Kehidupan Berbangsa. Memang selintas kita sudah tahu bahwa judul itu aspek politiknya lebih menonjol dalam gagasan yang ada dalam tulisan itu tetapi aspek akidahnya sangat juga jelas keberadaannya.
Kenyataannya Dalam kehidupan Berbangsa itu adalah dominan politik, memang sejak awal Kemerdekaan Indonesia, ada masalah politik yang menggajal yaitu tentang peran 'Politik Islam' dalam berbangsa dan Bernegara, yang intinya bahwa Non Muslim tidak akhlas bila identitas keislaman hadir dalam kancah politik Indonesia. Hanya saja sayangnya masih terlalu segar dalam ingatan betapa para pemimpin Islam bersama ummat yang dipimpinnya justeru merupakan pihak yang paling gigih memperjuangkan Kemerdekaan, catatan sejara itu masih melekat dalam ingatan, perjuangan merebut kemerdekaan adalah juga dalam kategori politik, bagaimana mungkin setelah merdeka identitasnya harus dilucuti,
Dahulu mendiang Presiden Soekarno sangat yakin akan mempersatukan Nasionalis, Agama dan Komunis, tetapi akhirnya gagal total. Presiden Soeharto awalnya bermesraan dengan Kelompok Islam, lalu renggang, dan akhirnya justeru jatuh karena menujukkan gejala upaya keakraban dengan Islam. Issue untuk menjatuhkan Suhato menggunakan Demokrasi sebagai inti dari Reformasi yang dijadikan issue yang mengemuka.
Ternyata Reformasi yang juga ditandai dengan huru hara tahun 98, ternyata adalah pristiwa yang penuh intrik, persaetruan yang terjadi disekitar pristiwa 98 itu walaupun sedikit demi sedikit terkuak melalui perdebatan panjang antara kelompok Wiranto dan Prabowo mulai dari Pilpres tahun 2014 dan muncul kembali dalam Pilpres tahun 2019. Secara halus gagasan demokrasi mendapatkan perjalanan jalan yang lurus dan mulus dalam bentuk pristiwa demi pristiwa, dan huru hara demi huru hara yang terjadi di internal bangsa kita, yang berujung kepada Amandemen UUD 1945 sebanyak tiga kali dalam waktu singkat. Mungkin pada saatnya kelak bangsa ini akan mampu mengurai latar belakang pristiwa demi pristiwa itu. Sehingga akan semakin jelas kelompok mana yang sesungguhnya culas.
Sejumlah ngara di Timur Tengah justeru berkeping setelah diyakinkan dengan iming iming azimat yang bernama demokrasi itu. Dan gagasan demokrasi itu ternyata belakangan ketahuan mengusung kepentingan eknomis sejumlah bangsa maju, Sebagai Negara Terkaya alamnya maka bukan tidak mungkin Indonesia dilirik oleh para Bangsa Penjajah itu. Kita ingin katakan buru buru Dengan sedikit catatan tersebut di atas, maka ingin saya katakan bahwa usulan untuk menghapus kata kafir dari kamus Islam itu sejatinya juga adalah demi mulusnya perjalanan demokrasi di Indonesia. dan bagaimana perjuangan demokrasi dimanfaatkan sejumlah megara maju tersebut di atas. Ini semua memang harus kita sikapi secermat mungkin, karena memang bangsa kita telah terjebak dengan berbagai ketergantungan yang mereka ciptakan. Sehingga masalahnya tak lagi sederhana.
Sekali lagi judul tulisan Dr. Alamsyah memiliki dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek akidah, tetapi aspek politiknya nampak jauh lebih ditekankan. Berbicara masalah politik maka pada saat ini demokrasi payungnya. dalam kancah politik Internasional maka nilai nilai Islam sekarang sedang disudutkan akibat berbagai pristiwa yang sejatinya merupakan reaksi dari ketidak adilan demokrasi, yang diperjuangkan atau ditunggangi sejumlah negara maju yang hakekatnya adalah menjajah.
Bansa Indonesia yang rakyatnya mayoritas Muslim akhirnya ikut dalam hirukpikuk perjuangan demokrasi. Perjuangan demokrasi di Indonesia bergumul dengan kerinduan sebagian Ummat Islam dengan Piagam Jakarta di satu pihak dan kekhawatiran masyarakat Non Muslim akan terancam mnakala Islam berkuasa. Oleh karenanya maka harus diupayakan sedini mungkin agar kekuasaan jangan dipegang oleh Islam yang patuh, dan mmiliki komitmen politik Keislaman yang tinggi. Caranya adalah : Pendidikan Islam harus dihambat, dan dakwah Islam harus dicegah. Islam akan maju manakala ada tiga hal yang berjalan lancar. (1) Pertama Ibadahnya aktif dan lancar, (2) kedua, dakwahnya aktip dan (3 ) ketiga pendidikan mengalami kemajuan.
Keberhasilan mengamandemen UUD 1945 adalah merupakan kemenangan besar kelompok non Muslim dalam kancah perpolitikan di Indonesia dengan skor yang sangat telak. Dalam menanggapi kekalahan politik Islam ini, Berbagai kelompok mempertunjukkan respon yang beragam. NU dan Muhammadiyah menempuh jalur tersendiri. sementara sejumlah organisasi yang tidak sebesar NU dan Muhammadiah menempuh jalur yang lebih frotal. Apalagi organisasi yang lebih kecil lainnya cenderung fulgar. Ormas Islam lebih berani bersikap dibanding Parpol Islam, apalagi sejumlah Parpol Islam telah menyatakan diri sebagai partai terbuka. Mereka menyisakan hystoris dalam kaitannya dengan Islam.
Mungkin di sini NU adalah pihak yang paling berani berspikulasi dalam berpolitik. Jika dahulu pada masa Orde Lama NU sanggup menerima konsep Nasakom. disaat yang lain menolak, tetapi memang kenyataannya pada saat itu NU bermesraan dengan Penguasa yang mulai mempertunjukkan kediktatorannya, tetapi dengan konsep politik NU pada saat itu justeru NU adalah menjadi organisasi yang paling banyak mencapai kemajuan. Ummatpun banyak kecewa dengan NU. Sayang PKI berkhianat dengan konsep Nasakom itu. PKI banyak melakukanm politik kotor dan justeru tokoh NU yang banyak jadi korban, Kekecewaan ummat atas politik NU dilupakan dan bergandengan tangan bersama Pemuda Anshor dan Pelajar/ Mahasiswa NU dalam menumpas antek antek PKI.
Pada awal Orde Baru pun NU nampak mesra dengan Penguasa, Sayang kemesraan ini banyak terganggu oleh sikap dan prilaku para tokoh muda NU sebut saja Gus Dur yang dalam berbagai kesempatan seperti terang terangan berseberangan dengan Penguasa Orde Baru, sehingga hubungan NU dan Pemerintah rapat dan merenggang secara fluktuatip. Namun tidak sia sia akhirnya Gus Dur sampai juga ke Kursi Kepresidenan. Sayang masa Gus Dur sebagai Prsiden hanya separo jalan, namun demikian Pelajaran berharga telah beliau torehkan bagi anak bangsa. Gus Dur turun dengan kehormatan yang utuh seutuh utuhnya.
Kini zaman Era Jokowi, Politik dan Pemerinthan disetting sebagai pencitraan, terserah bagaimana akhirnya, yang penting nampak wah ... dari luar. Pada saat itulah keluarnya keputusan yang maha dahsyat yaitu penghapusan kata kafir dari kehidupan keagaan Islam dalam rangka berbangsa dan bernegara. Gagasan ini pasti akan ditentang ummat yang luas ini, karena kata kata itu secara jelas telah muncul dan tak akan ada alasan apapun yan mampu menghapusnya.
Sungguh diluar dugaan ternyata Ulama NU mampu menggagas penghapusan kata Kafir. Ummat belum bisa menerima alasan aqidah yang menjadi latar pertimbangannya. Masyarakat tentu akan menuduih NU memiliki pertimbangan politik yang fragmatis belaka. Tetapi ini akan dianggap konyol. Bagaimana mungkin NU bersedia mengamputasi ajaran agama Islam demi politik fragmatis. Apalagi politik kita sedang kalah, maka apabila amputasi ini kita setujui maka bukan hal yang tidak mungkin mereka akan melakukan mutilasi. Ingat betapa banyaknya warga NU dahulu menjadi korban kekejaman PKI. Semoga saja Bpk. Dr. Alamsyah memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memberikan pencerahan kepada ummat.
No comments:
Post a Comment