Tiga orang yang sudah sangat saya kenal datang ke rumah, tetapi kali inimereka datang dengan memperkenalkan diri sebagai Bagian dari Panitia Penyelenggaraan Peringatan Tahun Emas UIN Rd. Intan, yang dulu disebut IAIN singakatan Institut Agama Islam Negeri. Selain meminta foto foto lama di sekitar Kampus lama, dan untuk itu ada belasan foto lama yang serahkan kepada mereka untuk di foto ulang. Saya tidak tahu persais seberapa besar nilai historis foto toto itu, tetapi saya yakin itu sebagai satu satunya yang ada. Mereka pulang dengan mempertunjukkan wajah kepuasan. Alhamdulillah.
Tetapi yang lebih menarik adala bahwa panitia akan menyelenggarakan FGD, yaitu Focus Grup Duscution, diskusi yang memang membahas suatu tema, tetapi sifatnya informasi saja, dan dalam proses pengambilan keputusan tidak dengan melalui perdebatan disertai sejumlah data pendukung, lalu pihak yang kurang lengkap memiliki data yang akurat dinyatakan kurang valid, tidak. Keputusan sepenuhnya akan ada pada panitia sebagai pemangku kepentingan, dan kesimpilan adalah bagi masing masing peserta, sesuai dengan keseriusan dan kesempatan menyerap, tentu tidak melupakan ikatan emosional dan berkembangnya imajinasi.
Sejatinya dalam FGD semua peserta mendapatkan kesempatan yang luas untuk berbicara, dan biasanya tema juga ditetapkan penyelenggara yang berkepentingan. Terlepas dari istilah dan sebutan lainnya bagi seseorang yang berkesempatan memanfaatkan waktu untuk bicara. Kita tidak tahu siapa nanti yang akan diberikan kesempatan untuk bicara dalam forum ini. Dan bagaimana pula bunyi temanya. Maka yang paling penting, sekali lagi adalah apa yang dikemukakan, kita harapkan akan mampu menghidupkan imajinasi, sehingga selalu akan menjadi semangat yang terbaharukan. Menjadi sebuah warisan yang akan diyakini sewbagai sesuatu yang bermanfaat.
II.
Tetapi mulai dari pristiwa Malari tahun 1975-an mahasiswa mencapai puncak kritis terhadap Pemerintrah. Presiden Soeharto nampak sangat kuat, sejumlah tokoh memposisikan sebagai opposisi dengan segala kekeritisannya. Selaku Ketua Dewan Mahasiswa ada satu dua orang Dosen yang mencoba seperti menegur Ketua Deawan Mahasiswa karena belum juga melakukan sesuatu sekedar menunjukkan eksistensi mahasiswa. Tetapi sayang mereka tak memiliki konsep yang bisa menarik hati Mahasiswa untuk disuarakan.
Dewan Mahasiswa Universitas Lampung, Muhajir Utomo, beberapa kali menghubungi saya untuk melakukan sesuatu lewat beberapa orang teman, tetapi saya belum menangkap kemamfatannya, Sebagai Kertua Dewan Mahasiswa IAIN saya sering kumpul kumpul bersama Teman temannya Muhajir Utama, sebenarnya saya dan teman teman dari Unila itu memiliki perbedaan konsep dan keinginan, mereka lebih cenderung mengangkat Masalah permodalan asing dan lingkungan hidup, sementara saya lebih suka mengkritisi masalah Aliran Kepercayaan dan Konsep Kerukubnan Ummat Beragama. Pernah dalam satu pertemuan di Fakultas Hukum Unila (Kampus Telukbetung) saya terlibat dalam penyusunan Konsep Pernyataan Untuk disampaikan kepada Pemda. Sejatinya saya sendiri telah menuliskan konsep pernyataan sesuai dengan aspirasi saya, tetapi setelah diserahkan kepada Tim Perumus yang diketuai oleh Muhajir Utomo, ternyata konsep yang saya usuklan dipersingkat dan menurut hemat saya menjadi tumpul dan lemah.Saya kecewa.
Tetapi ketika berunjukrasa saya tak ikutan, teman teman Unila yang melakukan aksi diam setelah menyampaikan Surat Pernyataan Politik. Muhajir Utomo Selaku Ketua Dewan Mahasiswa dan Amami Amilah selaku Sekjen diamankan Kodim untuk mendapatkan pengarahan, tetapi kami mahasiswa lainnya sangat bebas bisa keluar masuk ke ditempat mereka diistirahatkan, kami sangat terkejut banyak sekali kiriman makanan dan buah buahan di situ, karena berlimpah, nampaknya ada juga teman teman yang membawa pulang makanan tersebut dengan alasan daripada basi. Kami berkumpul kumpul hampir setiap waktu disitu, dan hasilnya terbentuknya persamaan karakter. Walaupun sebenarnya bisa saja Korem memiliki target sendiri dalam membebaskan kami keluar masuk lokasi, dan bebasnya kiriman dari mereka yang bersimpati. Tapi itu berhasil menjibnakkan Muhajir dan kawan kawan.
Perubahan yang saya alami saya rasakan ketika saya memprotes sikap Rektor Universitas Lampung Dr. Ir. Sitanala Arsyad dan Kakanwil Depdikbud Lampung Soegiyo. Saya merasa kecewa karena atlit dari IAIN Lampung tidak diberangkatkan ke Pekan Olahraga Mahasiswa, padahal Mahasiswa Unila memenangi lari Maraton. Alasan mereka tak memberangkatkan pemenang karena prestasi Pemenang selain terpaut jauh dengan prestasi Pememang Nasional sebelumhnya, si mahasiswa bersangkutan dalam test terakhir justeru mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pelari kita cenderung melecehkan lawan, ketika lawan tertinggal, Dia seperti menanti, dan ketika ada lawan yang akan melampawi diapun melesat menjauhi. Sayang saya hanya membela seorang diri. Dari pristiwa itu saya sadar, telah kehilanganb sesuatu. Tetapi di satu sisi saya terkejut atas keberanian saya memprotes orang terhormat, itu barangkali sebagai akibat dari sering berkumpulnya dengan teman teman Mahasiswa dari Unila.
Setidaknya ada dua kali saya berusan dengan yang berwajib, pertama ketika sedang KKN di Kecamatan Rajabasa, Dan Kedua ketika mengawal Organisasi Pelajar di Daerah Talangjerambah. Ketika di di Jepara saya ceramah dengan meneriakkan yel yel, Bila saya meneriakkan Merdeka, hadirin saya minta menjawab dengan teriakan Jihad, sebaliknya ketika saya meneriakkan Jihad, maka hadirin diminta menjawab dengan terikan Merdeka. Mungkin karena dianggap penjelasannya kurang tuntas, maka ketika akan pulang ketika selasai KKN selama dua bulan itu, saya harus menghadap Danramil untuk mendapat pencerahan. Hingga saya menyatakan setuju, dan sependapat. Karena memang tak ada niatan untuk membuat keonaran, hanya mengajak bersikap cerdas dan kritis.
Demikian juga dengan periustiwa yang saya alami di Talangjerambah Kotabumi Lampung Utara, pihak Kecamatan menerima laporan bahwa para siswa mendiskusikan agama dan Pancasila. Setelah kami berdiskusi agak hangat akhirnya pihak Kecamatan meminta agar redaksi penjelasannya dirubah, yaitu menanamkan nilai nilai Pancasila dengan menggunakan metode diskusi. Itu saya setujui, dan para peserta dipersilakan besok hari untuk pulang ke rumah masing masing. Intinya adalah Pancasila itu tak boleh didiskusikan. Selesai. Tetapi pemikiran yang sangat mengganjal adalah pada saat itu Ada Pengurus pusat (PB) dan ada Pengurus Wilayah (PW) Lampung. Sayapun mengevaluasi diri.
Huru hara demi huruhara yang melibatkan mahasiswa semakin sering terjadi. Dahulu tak ada sosial media, seiring dengan pencekalan berita di media massa, maka beredarlah selebaran gelap. Naskah tik berpuluh bahkan pernah mencapai seratusan halaman dalam satu fokus. Selebaran gelap berjalan seiring dengan demo mahasiswa, belakangan ada cerita dari mulut je mulut, bahwa manakala terjadi perselisihan di elit Pemerintah dan menyeret ABRI maka akan muncul demo mahasiswa. Manakala perselisihan itu tetap membara, maka Demo Mahasioswa akan sambung menyambung. Konon Suharto menerapkan manajemen komplik. Artinya perselisihan antara kelompok itu terpelihara.
Presiden Soeharto berdiri ditengah sebagai penentu dalam pengambila keputusan ditengah perselisihan antara berbagai pihak, dan Presiden bertindak sebagai penentu kebijakan. Tetapi sayang Presiden tak mampu untuk netral, semestinya Presiden Netral dan sepenuhnya berpihak kepada Konstitusi, bila tidak maka tentu sangat dikhawatirkan yang bersangkutan justeru akan berhadapan secara langsung dengan mereka mereka yang justeru dibesarkan karena mereka mentaatinya selama ini. Banyak narasumber dalam diskusi dan ceramah yang sangat menghawatirkan Manajemen Conflik Soeharto pada saat itu juateru akan memakan kurban, dan kurbannya adalah Presiden Soeharto sendiri. Walaupun orang cenderung melupakan thesis ini karena Suharto bertambah kuat saja,
III.
Sebagaimana Soekarno yang menciptakan Nasakom, gelagatnya Soeharto akan menciptakan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai perekat bagi perbedaan dan keanekaragaman masyarakat, khusunya masyarakat beragama.Aliran Kepercayaan dicari disemua daerah, dan memang smua daerah sejatinya ada Kepercayaan baik yang terarganisir maupun belum. Aliran kepercayaan berusaha diperjelas siapa yang menciptakan, dan siapa yang mengembangkan dan lain sebagainya. Kebetulan saya bekerja di Kanwil Depdikbud sebagai pengelola.
Kami mwendapat tugas untuk menghadirkan ilmuan Islam yang memiliki kemampuan memahami keberadaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pada saat itu bersepakat menghadirkan Bpk. A.Hanif, RH sebagao dosen Aliran Kepercayaan dan Bpk. Mahmud Yusuf sebagai dosen Pemikiran Islam dan Filsafat Islam, karena keduanya memang tak diberitahu sedang dalam penilaian untuk menjadi Pejabat Eselon II di Depdiknas Untuk melaksanakan segala kebijakan tentang Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa. Tentu saja keduanya tidak mempersiapkan diri secara khusus, dan tampil natural. Hasilnya tak terpilih, yang terpilih adalah seorang Dosen dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Terlalu berat bila akan menjadikan Aliran Kepercayaan sebagai perekat berbagai perbedaan gama. Agama Agama di Indonesia, telah memiliki literatur yang jauh lebih banyak ketimbang Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sementara kitab kitab Aliran Kepercayaan selain tidak mampu menggambarkan pemikiran filsafat Suku Suku Bangsa di Indonesia, karena pembinaan Kebudayaan Daerah masih dalam tarap antropologis, plus, kesenian, adat istiadat, maka akan terlalu sulit menggeser kemampuan agama dalam menjawab persoalan hidup masyarakat.
IV.
Setidaknya Sdr. Syamsul Rizal akan menjadi saksi akan kekhawatiran sejumlah ulama di Lampung akan kepemimpinan di IAIN, yang sejatinya diharapkan akan berkembang pesat. Membawa amanah dari sejumlah ulama daerah kami berdua harus menghadap Tri Sutrisno, yang pada saat itu menjabat sebagai Pangdan Sriwijaya, yang berkantor di Palembang, Tidak kurang info dari Danrem Lampung Lampung meminta kami berdua menemui beliau di Perumahan Dinas Danrem di daerah Kedaton Bandar Lampung, atas petunjuk beberapa orang tokoh yang sangat peduli IAIN Rd.Intan.
Mission yang kami usung adalah agar Tri Sutrisno membicarakan masalah Rektor IAIN kepada Menteri Agama yang pada saat itu masih di Jabat oleh Alamsyah Ratu Perwira. Yang intinya para ulama daerah tidak keberatan manakala jabatan Rektor IAIN Rd. Intan kembali dijabat oleh ABRI, sayangnya para ulama tidak mampu mengajukan satu nama yang mereka kenal dengan baik, kecuali Mayor Salim, yang juga sempat menjadi Dosen Kewiraan di IAIN Rd. Intan. Sebelum Dosen Kewiraan diserahkan kepada Rizani Puspawijaya, SH. dari UNILA. yang ini oleh Menterio Agama dianggap sebagai langkah Mundur. Karena Suwarno Achmadi pada saat menjadi Rektor sudah berpangkat Letkol. Itulah sebabnya Gubernur, Danrem dan Kepolisian sangat menaruh hormat.
Rektor M.Zen pada saat itu mungkin tercatat sebagai Rektor yang paling lemah dibanding Soewarnio Achmadi dan Drs. Busairi. M.Zen sebagai Rektor trentu memiliki kelebihan lainnya, beliau adalah putra derah. Nampaknya Depag menginginkan adanya status kedaerahan, walaupun M.Zen berada di Pusat. Namun sayang beliau seperti memaksakan diri mengambil sikap yang berbeda dengan Suwarno Achmady, padahal itu zaman Orde Baru di mana ABRI dan TNI sedang memiliki peran yang puncak dalam menetapkan kebijakan Pemerintahan.
Memang seharusnya M.Zen memanfaatkan sebagai aparat pusat beliau memanfaatkan berbagai loby untuk meningkatkan anggaran bagi Lampung, kalau saja seandainya beliau berhasil meningkatkan anggaran, dan menganggarkan pembiaan pendidikan bagi tenaga pengajar pada program S II dan S III beliau akan banyak dikenang, walaupun resikonya kelak adalah semakin tajamnya kritik terhadap kepemimpinan Perguruan Tinggi. Nampak menggejala mereka yang telah mengikuti Program Pascasarjana. kritik kritik akan lebih tajam dibanding karya akademis. Pasca menyelesaikan Program Pascasarjana. Sebenarnya itu tak menjadi masalah asalkan kita lebih dewasa dan matang dalam bersaikap dibanding pengeritik.
Ketika Bapak M. Ghozie Badrie terpilih sebagai Rektor, seingat saya hanya sekali saya berkunjung keruang kerjanya, dan pada saat itu saya meminta beliau untuk mengupayakan semaksimal mungkin membiayai para dosen hingga mencapaiu gelar doktor dan selanjutnya Profesor. Pada saat itu, Sebenarnya saya belum memahami bahwa kurangnya jumlah Guru Besar akan mempengaruhi akreditasi Fakultas atau jurusan yang bersangkuta dan bahkan pada saatnya akreditasi Institiu atau Universitas. Saya hanya merasa iri saja karena pada perguruan lain sudah memiliki kelengkapan jumlah Guru Besar.
V.
Ketika Pak Mahmud Yusuf menganjurkan saya untu ujian ulang sehingga tidak memiliki nailai akhir yang satandar untuk menjadi dosesn, saya mengucapkan terima kasih atas simpatinya, IP 3 bagi saya adalah musibah karena salah satu dosen memberikan nilai minus bagi saya, sehingga harus membagi nilai yang ada, karena saya dianggap tidak setor tugas. Padahalk saya adalah satu satunya mahasiswa yang menyetor tugas, sehingga saya dimintai tolong untuk menegor teman teman yang belum stor agar tak memiliki tunggakan, yang dapat mempengaruhi nilai, banyak juga teman teman yang harus saya bantu menyelesaikan tugasnya. Tugas tugas itu berhasil saya himpun dan saya setorkan lewat petugas di sekretariat/ kantor. Tetapi apa lacur justeru belakangan saya dicap sebagai satu satunya mahasiswa yang tidak melaksanakan tugas itu. Nilaipun syapun menjadi hancurhacur, IP. 3,0
Walaupun sudah bertahun tahun saya melaksanakan tugas sebagai asisten dari dosen yang sibuk administratif atau melanjutkan kuliah ditempat jauh, dan sayapun sempat tiga kali ganti mata kuliah, bahkan ada mata kuliah yang saya susun sediri kurikulumnya, serta tahapan tahapan penyajiannya. Sangking tenggelamnya Dosen yang bersangkutan ke tugas administrasi bagi yang mendapat Job sebagai Pimpro, demikian juga bagi dosen yang masih berusaha menyelesaikan tugasnya. Sehingga catatan saya ditahap satu tidak kurang dari lima tahun saya bertugas di Fakultas Ushuluddin.
Pada tahap kedua ketika saya kembali di panggil datang ke Ushuluddin lewat Bpk. M.Ghozie Badrie saya diminta memberikan mata kuliah Filsafat Daerah, ada dua kali saya menyajikan mata kuliah itu dalam pengawasan beliau, dan saya diminta menyusun kurikulumnya, lalu beliau setuju dan seterusnya di lepas dan berkalan sendiri. Jika tak salah Jabatan beliau setelahj selesai jadi Rektor, beliau diangkat menjadi Kajur Filsafat dan pada saat itu beliau memanggil saya untuk berpartisipasi, alhamdulillah Atasan di Kantor mengijinkan saya berpartisipasi mengabdi di Fakultas Ushuluddin, dengan catatan segera datang ke Kantor seusai mengajar, Tetapi manakala ada acra kantor yang sangat penting maka diutamakan acara atau agenda Kantor, dan sayapun menyetujui.
VI.
Barangkali hal yang paling konyol yang pernah saya lakukan adalah menolak tawaran Prof. Bambang Sumitro untuk mendapatkan kuliah gratis dari Program Study Sosiuologi Pedesaan Bogor. Pada saat itu Bpk Fauzie Nurdin hampir menyelesaikan Studynya di sana. Persyaratannya sekilas remeh sekali, yaitu harus menulis tentang perempaua di Lampung nanti pada saat menyusun Thesis, Biaya kuliah, biaya pemondokan, literatur dan uang saku, setammat kuliah harus menjadi pengajar di Perguruan Tinggi Negeri, konyol. tawaran manis itu saya tolak.
Pada saat itu saya sedang gandrung gandrungnya dengan beban tugas yang diberikan Kantor/ Pimpinan kepada saya. Selama bebera tahun saya diberikan tugas melaksanakan penelitian kebudayaan melalui ProyekInventarisasi Budaya Daerah setiap tahun minimal ada satu penelitian, semula sampai lima judul pertahun, tetapi belakangan hanya tiga judul lalu dua judul saja, dan terakhir hanya muncul satu judul. Dan dapat dipastikan saya mengelola satu judul. Proyek ini mewajibkan pendeketan full antropologi. Karena saya terlibat dalam pelaku adat, maka saya mendapatkan kemudahan untuk lebih cepat memahami persoalan dibanding mereka yang kelahiran derah lan. sekalipun saya bukan antropolog. Jurusan Filsafat yang saya pilih ternyata sangat membantu saya dalam mengimajinasikan data data yang terkumpul.
Andai saja tawaran Prof. Bambang Sumitro saya terima, dan dana bantuan luar negeri yang dikelola oleh Prof. Sayugyo cepat saya tangkap. Maka sejatinya saya berkesempatan menulis kebudayaan Lampung dalam kwantitas yang lebih tinggi, bahkan kualitas berpeluang meningkat. Daerah sesungguhnya sangat membutuhkan informasi kebudayaan Lampung, dari berbagai aspeknya. Yang kelak nantinya akan bermuara kepada dirasakan pentingnya bahasa Lampung, karena berbagai informasi yang membentuk metafor akan mengharuskan untuk memahami Bahasa Lampung. Atas kekeliruan saya dalam menolak kesempatan, sejatinya juga adalah dosa saya bagi perkembangan budaya Lampung dan ketahanan bahasa Lampung dari kepunahan. Karena perjalanan hidup saya ternyata menunjukkan grafik turun dalam ikut serta mempertahankan nilai budaya Lampung.
Akhirul Kalam.
Tampa kemampuan yang tinggi para narasumber membentuk imajinasi audien pada saat FGD nanti maka berakibat miskinnya metafor yang bisa di bawa pulang, dengan demikian kemewahan metafor hanya dimungkin oleh keterampilan panitia atau moderator menggali imajinasi untuk memformulasikan metafor yang mewah bagi auden, kemewahan metafor itulah nanti yang dapat memunculkan berbagai gagasan.
Mari kita tunggu saja, siapa yang akan diundang oleh panitia untuk menhadiri FGD ini lalu kepada siapa panitia berharap mendapatkan gambaran imajinatif dari cuplikan cuplikan dari sejumlah orang yang memiliki keterlibatan dalam membangun kampus yang semula Institut menjadi Universitas yang bisa dipastikan akan menjadi luar biasa ini. Kita tunggu saja.
No comments:
Post a Comment