Saya berterima kasih sekali kepada sahabat Grup WA yang memposting tulisan tampa nama penulisnya yang menggambarkan makna dungu dalam praktek sehari hari, dengan membaca tulisan itu sayapun menjadi tersenyum sendiri manakala ingat kata dungu memang pantas diberikan kepada orang yang sok pinter. Bagaimana uraiannya, silakan baca naskah di bawah ini.
Diceriterakan :
RELA MENJADI DUNGU DEMI KEHORMATAN DAN KEBAHAGIAAN SESAAT
(dari cerita ABU NAWAS)
Suatu hari Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat ke dalam topinya. Orang banyak perhatikan ulah Abu Nawas itu dengan wajah heran.
Apakah Abu Nawas telah gila? Apalagi dia melihat ke dalam topinya sambil tersenyum dan penuh bahagia.
Salah seorang datang menghampiri Abu nawas, "Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?"
"Aku sedang melihat surga lengkap dengan barisan bidadari," kata Abu Nawas dengan wajah cerah dan senyum puas.
"Coba aku lihat!"
"Saya tidak yakin engkau bisa melihat seperti yang aku lihat".
"Mengapa?"
"Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat surga di topi ini," tegas Abu Nawas meyakinkan.
"Coba aku lihat," kejar si penanya penasaran.
"Silahkan!"
Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat ke arah Abu Nawas, "benar kamu, aku melihat surga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah, Allahu Akbar," kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak.
"Coba aku lihat!"
"Saya tidak yakin engkau bisa melihat seperti yang aku lihat".
"Mengapa?"
"Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat surga di topi ini," tegas Abu Nawas meyakinkan.
"Coba aku lihat," kejar si penanya penasaran.
"Silahkan!"
Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat ke arah Abu Nawas, "benar kamu, aku melihat surga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah, Allahu Akbar," kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak.
Abu Nawas tersenyum. Sementara orang banyak yang menyaksikan ulah Abu Nawas ingin pula membuktikan apakah benar ada surga di dalam topi itu.
Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua, "ingat, hanya orang beriman dan sholeh yang bisa melihat surga didalam ini. Yang tidak beriman tidak akan bisa melihat apapun".
Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua, "ingat, hanya orang beriman dan sholeh yang bisa melihat surga didalam ini. Yang tidak beriman tidak akan bisa melihat apapun".
Satu demi satu orang melihat kedalam topi Abu Nawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat surga dan ada juga yang mengatakan Abu Nawas bohong. Abu Nawas tetap tenang saja sambil menebar senyum.
Akhirnya, mereka yang tidak melihat surga di dalam topi itu melaporkan kepada Raja dengan tuduhan Abu Nawas telah menebarkan kebohongan kepada orang banyak.
Raja memanggil Abu Nawas menghadap raja. "Abu Nawas!" seru raja, "benarkah kamu bilang di dalam topimu bisa nampak surga dengan sederet bidadari cantik?"
"Benar Tuan Raja, tapi yang bisa melihatnya hanya orang beriman dan sholeh. Bagi yang tidak bisa melhat itu artinya dia tidak beriman dan kafir".
"Oh begitu. Coba saya buktikan apakah benar cerita kamu itu," sanggah Raja, yang segera melihat ke dalam topi Abu nawas dari sudut kiri dan kanan, atas dan bawah.
"Benar Tuan Raja, tapi yang bisa melihatnya hanya orang beriman dan sholeh. Bagi yang tidak bisa melhat itu artinya dia tidak beriman dan kafir".
"Oh begitu. Coba saya buktikan apakah benar cerita kamu itu," sanggah Raja, yang segera melihat ke dalam topi Abu nawas dari sudut kiri dan kanan, atas dan bawah.
Akhirnya raja terdiam dan berpikir, "benar tidak nampak surga di dalam topi ini. Tapi andaikan aku bilang tidak ada surga, maka orang banyak akan tahu aku termasuk tidak beriman dan termasuk kafir. Tentu akan hancur reputasiku".
Demikian kira kira yang dipikirkan sang Raja. Akhirnya Raja mengatakan, "Benar! Saya sebagai saksi bahwa di dalam topi Abu Nawas, kita bisa melihat surga dengan sederetan bidadari," ia setengah berteriak.
Orang banyak akhirnya menerima cerita Abu Nawas karena kawatir berbeda dengan Raja.
Ibrah yang bisa kita petik dari kisah ini adalah betapa kita masih sering "latah" dan "kagetan" dalam menyikapi sebuah berita. Tidak tua tidak muda, kita masih suka panik dalam menyikapi berita terutama yang berbalut agama.
Takut tidak dianggap islam jika tidak ikut-ikutan. Takut tidak dianggap beragama jika tidak menerima ajakan mereka. Tidak tahu, karena kita masih miskin ilmu.
Hal ini yang dimanfaatkan oleh para pengadu domba, penyebar fitnah, pembuat rusuh untuk memecah belah bangsa kita.
(http://biartua.blogspot.com/2017/05/gara-gara-hoax-topi-abu-nawas-membuat.html?m=1)Takut tidak dianggap islam jika tidak ikut-ikutan. Takut tidak dianggap beragama jika tidak menerima ajakan mereka. Tidak tahu, karena kita masih miskin ilmu.
Hal ini yang dimanfaatkan oleh para pengadu domba, penyebar fitnah, pembuat rusuh untuk memecah belah bangsa kita.
Membaca naskah edit ulang dari Cerita Abu Nawas ini maka kitapun akan paham manakala seseorang terpaksa menerima gelar dungu adalah demi kesenangan dan kehormatan sesaat. Bila Gerung mengatakan bahwa seseorang akan menjadi dungu manakala tak memahami premis premis dalam pengambilan konklusi yang sangat realistis sekalipun atau tak memahmi cara sylogisme dalam merumuskan konklusi, dan mereka berpura pura sekalipun sebenarnya mereka lebih dari paham akan kebnaran apa yang disampaikan dengan melalui kaidah berfikir secara filofis.
Contoh yang paling gamblang adalah pada cerita Abu Nawas, mulai dari Raja sampai Rakyat jelara mereka harus menerima gelar dungu, demi gengsi. Mereka sepakat menyuimpan sebuah kebenaran secara massal, sebenarnya mereka sadar dan saling tahu, tetaoi demi sesuatu mereka memilih dungu.
Marilah kita dukung gerakan akal sehat yang didengungkan oleh Gerung dan kawan kawan, karena dengan akal sehat kita tak lagi akan menghamba kepada cerita cerita hoak. Yakinlah bahwa dunia politik kita masih biosa kita perbaiki, manakala dimulai dari Pimpinan Nasional, Pimpinan Partai, Pimpinan Organisasi dan seterusnya. Sebelum semuanya terlambat.
No comments:
Post a Comment