![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv68oOO3KxmfxVBq9Ho-fqBkiAiB76mgA21XqWAvUh2jBrAKQOnVXXfjMbt_9FEhyOOlk5C2gDppMDgvSJKLFfvEzjxtr9_3JUweMti9tA4JU1kCG7mDdCQ0zA8LqxKaTuHVXjU1-_0Yo/s320/New+Picture.bmp)
Seorang Rasul atau Nabi memiliki seifat yaitu siddiq, amanah dan fatonah. Disebut siddiq manakala seorang ulama itu memiliki kemampuan untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, untuk itu seorang ulama harus mengetahui aturan yang disepakati untuk dijadikan pegangan. Disebut amanah manakala benar dikatakan benar dan manakala yang salah dikatakan salah, dan Ia harus memiliki keberpihakan kepada yang benar. Maka jangan sekali kali Ia menunjukkan keberpihakannya kepada yang batil, apalagi itu terkait urusan politik. Selaku warotsatul Ambiya maka ulama juga harus Fathonah, yang artinya cerdas, cerdas secara fisofis adalah mampu menangkap sejumlah premis premis dalam berfikirnya dan memiliki kemampuan menentukan konklusi atau kesimulan. Dan bahkan memiliki kemampuan berfikir secara sylogisme artinya konklusi diambil dari satu premis, yaitu dalam keterbatasan informasi, apalagi iformasi itu sengaja disembunyi sembunyikan, Sifat yang terakhir yang harus diwarisi ulama adalah tabligh, yang artinya menyampaikan, seorang ulama tak boleh diam. Diam bagi ulama padahal dia tahu akan adanya kemungkaran, maka itu akan memiliki efek buruk bagi ummat yang dipimpinnya.
Ketika seseorang telah mendapatkan gelar gelar keulamaan dari ummat, maka seyogyanya untuk memperkuat keempat sifat sifat Rasul itu, yaitu memiliki pemahaman yang memadai tentang sebuah kebenaran, dan dirinya harus tiba kepada kebenaran itu, dan kebenaran serumit apapun harus berpulang kepada petunjuk Allah. Karena dengan petunjuk Allah Dia bisa berbyat amanah, keamanahan seseorang akan langsung dirasakan oleh ummat. Yang sebenarnya ummat tidak membutuhkan ilmu yang tingga untuk merasakan bahwa ulama yang memimpinnya itu amanah atau tidak.
No comments:
Post a Comment