Thursday, November 16, 2017
KISAH TRAGIS PEMBINAAN POLITIK NASIONAL ?
INDONESIA Sedang berkembang, termasuk politik nasional yang berkembang secara lambat, seperti ada yang keliru dalam dalam pembinaan politikkarena pada era Orde Baru politik itu dikesankan sebagai sesuatu yang kurang terpuji, dan pada saat itu ada Parpol yang dikesankan bukan Parpol tetapi sebagai Ormas yang Berkarya, mereka hanya memikirkan Kerja, Kerja, Kerja, bukan politik, dan politik itu dikesankan buruk. Walaupun jumlah Parpol dan Golongan Karya sebenarnya banyak, tetapi karena perolehan suara amtara Parpol dan Golkar sangat njomplang dan sangat kentara sekali ada ketidak adilan dalam pembinaan politik pada saat itusehingga Golongan yang di dukung Pemerintah mengalamikemenangan mencapai 90-an% nampak sekali sebagian Paorpol tak terbina dengan baik dan apalagi terfasilitasi. Untuk menutupi itu maka dibentuklah koalisi koalisi Parpol dan Golongan mengikuti Pemilu terbagi menjadi tiga, yaitu, Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Golongan Karya, dan Fraksi Demokrasi Indonesia. Ditambah lagi Fraksi ABRI, Utusan Daerah Dan Penunjukan Langsung. Sulit disalahkan pada saat itu karena suasana cukup kondusif seperti alasan yang dikemukakan dalam menempuh kebijakan pembinaan, karena dibutuhkan dalam rangka pembangunan. Ujung ujungnya semua Partai dan Golongan seperti berlomba untuk merapat ke Pemerintah dan rejim penguasa. Disitulah perpolitikan kita tak jua mengalami kematangan dan kedewasaan. Kasus Setya Novanto terkait E-KTP itu layak kita jadikan pelajaran. Sebuah perjalanan yang berakhir tragis yang dialami Ketua Partai Pememang Pemilu sepanjang kekuasaan rejim Orde Baru.
Setiya Novamto yang berhasil memperagakan sebuah salto salto politik yang sangat mencengangkan. beberapa kali beliau mempertunjukkan kontoversinya dalam berbagai masalah, belakangan Ia dituduh telah menjual nama Presiden Jokowi dalamupaya mempengaruhi sebuah perusahaan besar, dengan istilah Papa Minta Saham, bahwa dia menghendaki agar Jokowi mendapatkan saham jatah dalam Perusahaan besar yang telah puluhan tahun operasional mengeruk kekayaan emas di Irian Jaya. Otomatis tudingan terlebih oleh pendukung setia Presiden Jokowi marah besar kepada beliau karena dituduh menjual dan mencoreng Wajah Presiden, hingga akhirnya beliau bisa dipaksa mundur dari Jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Dalam waktu persamaan kericuhan di tubuh Golkar.
Mengejutkan ternyata nampaknya Presiden Jokowi sangat berkepentingan dengan siapayang mengelola Golkar kedepan, dan sulit bagi Presiden Jokowi menyembunyikan kehadirannya dalam partau pememang Pemilu sepanjang sejarah Orde Baru itu. Benar ... ! ternyata selang berapa hari saja Setya Novanto menyatakan bahwa Golkar mendukung pencalonan Jokowi sebagai Presiden yang akan datang, pernyataan ini jauh mendahului pendukung Jokowi sebagai Presiden yaitu PDIP, Nasdem dan Hanura. Nampaknya itulah yang dinginkan oleh Jokowi. Tak bedanya dengan bagaimana PPP dikuasai.
Tetapi pada saat ini membicarakan prihal Partai yang lain tidak akan semenarik membicartakan Setya Novanto, membicarakan tokoh yang satu ini jauh akan lebih menarik. Kini memang orang sedang tren membicarakan bagaimana tokoh ini tiba tiba jatuh sakit ketika KPK memangilnya sebagai saksi dalam kasus E-KTP. Tetapi sakit ini tak berlangsung lama, kesehatannya pulih ketika Mahkamah Konstitusi menerima gugatannya Tokoh ini dibebaskan dari segala tuntutan, dan upaya melibatkannya kedalam kasus E-KTP. Itu yang tersebar. Namun demikian dimedia sosial jauh lebih seru dibanding media ceta atau elektronik. Melalui media sosial, yang semula belum tahu, menjadi tahu, yang semula tak tertarikmenjadi tertarik, yang semula belum paham menjadi paham melalui medsos.
Kembali ke pokok permasalahan, Para pengamat politik setelah memperhatikan perkembangan kepemimpinan Presiden Jokowi yang semula dielu elukan sebagai Presiden yang merakyat, ternyata tidak jauh berbeda dengan kepemimpoinan Orde Baru, Presiden Soeharto, haus kekuasaan. Dan tak jarang pengamat yang menyuarakanbahwa Jokowi jauh lebih diktator dari Soeharto. Setidaknya tulisan Pakar Hukum Ketatanegaraan bisa mengesankan kesimpulan demikian, hal itu dikarenakan Pakar Hukum yang satu ini adalah pendukung Jokowi yang dalam ujarannya beliau sama sekali tak mampu menemukan cacat cela dari langkah langkah Jokowi sebagai Presiden. Tetapi mengejutkan dan bagaikan petir disiang bolong, tiba tiba pakar yang satu ini menyatakan ketidaksetujuannya dengan Perpu Keormasan, yang memang dinilai oleh orang orang awam dimaksudkan untuk memberangus sejumlah Organisasi Islam, dimulai dari Hizbut Tahrir Indonesia, yang paling suka mendakwahkan Sisten Khilafah, yang pernah dipraktekkan oleh Pemimpin Islam. Tetapi bukan masalah Khilafahnya yang menarik oleh Raflly Harun melainkan bahwa Perpu ini bisa menjadi kendaraan para Diktator.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment