Friday, February 17, 2017

Mengeluarkan Pelaku Bullying dari Sekolah merupakan Hal yang tak bertanggung jawab



The Jakarta Post, halaman 6, Rabu, 15 Februari
Oleh: Rizky Raditya Lumempaw (Pengacara dari Jakarta)
Dalam debat kampanye Gubernur DKI lalu, Petahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menyampaikan pandangannya tentang bullying. Pandangannya ketika itu adalah, siswa yang melakukan praktek bullying akan dikeluarkan dari sekolah negeri. Ahok yakin bahwa kebijakan seperti itu bila diterapkan di sekolah-sekolah negeri maka praktik bullying di Jakarta akan semakin menurun. Hal itu mungkin bisa saja benar. Namun, ada hal yang perlu dipertimbangkan kembali oleh Ahok.
Praktik bullying memang salah dan tidak seharusnya didukung. Praktik bullying muncul dari adanya budaya senioritas, hal yang cukup umum terjadi di sekolah swasta atau negeri. Praktik bullying bukan hanya tindakan kekerasan oleh sekelompok orang, melainkan sebuah budaya yang sudah terstruktur. Di kalangan siswa, bahkan ada Sebuah tingkatan sosial: (i) siswa baru adalah binatang; (ii) siswa kelas dua adalah manusia; (iii) siswa kelas tiga ada raja; dan (iv) para alumni adalah dewa.
Biasanya para senior mencuci otak para junior. Keyakinan  seperti “seorang lelaki tidak seharusnya menjadi seorang pengecut” sudah cukup umum. Menceritakan bahwa kita telah menjadi korban praktik bullying kepada orangtua adalah tindakan pengecut. Kemudian, keyakinan-keyakinan lain yang ditanamkan kepada para junior, diantaranya “seorang lelaki harus bisa memecahkan masalahnya sendiri”; “melawan praktik bullying berarti harus juga berani menghadapinya”; “Praktik bullying membuat kamu lebih dekat dengan para senior”.
Keyakinan-keyakinan tersebut kemudian berubah menjadi sebuah aturan hukum. Yang pertama adalah “senior selalu benar”; yang kedua, “junior selalu salah”, dan yang ketiga; “jika senior berbuat salah, maka aturan kembali ke nomor pertama”. Dalam budaya senioritas yang ekstrim ini, jika junior tidak bisa menerima praktik bullying yang dilakukan senior, maka junior dapat mengajukan pertarungan satu lawan satu dengan senior, atau disebut 


Kebanyakan korban praktik bullying yang mampu bertahan dan tidak menentang budaya senioritas tersebut maka ia akan diakui oleh para senior dan bahkan dijadikan teman; selebihnya dianggap gagal atau menjadi pengkhianat. Banyak dari junior yang dianggap gagal tersebut harus pindah sekolah karena tidak diakui oleh para senior dan teman-teman lainnya yang mampu bertahan selama praktik bullying.
Ironisnya, mereka semua tidak menyadari bahwa mereka semua adalah korban juga. Satu hal yang terlintas dalam debat gubernur DKI yang lalu adalah apakah mengeluarkan siswa dari sekolah merupakan solusi tepat untuk mencegah terjadinya praktik bullying. Meski hal itu terlihat efektif, namun tidak sepenuhnya benar karena beberapa alasaan.
Pertama, siswa yang melakukan praktik bullying mungkin juga adalah seorang korban. Dalam budaya senioritas ekstrim, masyarakat harus ingat bahwa siswa senior tersebut semuanya adalah korban praktik bullying ketika masih menjadi junior.
Siswa tersebut mungkin saja secara mental telah rusak ketika duduk di bangku SMA. Siswa yang telah menjadi korban tidak seharusnya menjadi korban untuk kedua kalinya. Sebaliknya, mereka harus dibantu karena pada dasarnya mereka tersesat.
Kedua, sekolah merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, termasuk pendidikan moral dan etika. Dalam keadaan normal dimana siswa adalah bukan korban, mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah mungkin sah-sah saja.
Namun, ketika seorang siswa dengan mental yang rusak karena telah menjadi korban praktik bullying, sesungguhnya yang mereka butuhkan adalah seseorang yang dapat membantu mereka menemukan jalan pulang melalui pendidikan tentang moral dan etika.
Oleh karena itu, mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah hanya akan menggagalkan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Pada akhirnya, siswa tidak sepenuhnya harus disalahkan karena adanya praktik bullying. Karena, siswa SMA masih berada di bawah umur menurut hukum Indonesia. hal ini berarti bahwa seorang siswa tidak memiliki tingkat pola pikir yang sama dengan orang dewasa.
Mengeluarkan siswa dari sekolah seharusnya hanya dilakukan dalam situasi-situasi khusus dan telah menyebabkan dampak-dampak yang tidak dapat diperbaiki, seperti menyebabkan kematian atau cacat bagi para korban. Jika sekolah atau pemerintah menganggap bahwa mengeluarkan siswa dari sekolah adalah jalan terbaik, maka seharusnya sekolah atau pemerintah membuat program pendidikan khsusus bagi siswa yang dikeluarkan dari sekolah.
Masyarakat kita nampaknya cenderung bertindak terlalu cepat dan menilai langsung tanpa pertimbangan. Mungkin saja mengeluarkan siswa dari sekolah bisa secara signifikan mengurangi tingkat prakik bullying di Jakarta. Namun demikian, hal terpenting dari pendidikan bukan hanya hasilnya, namun juga prosesnya. Merupakan sebuah ironi besar jika hal itu dilupakan oleh masyarakat kita.



No comments:

Post a Comment