Wednesday, September 27, 2017

SEKOLAH ITU SURGA ATAU NERAKA, DANA SERTIFIKASI GURU DIPAHAMI SECARA FRAGMATIS.

Sewaktu itu saya masih duduk di bangku sekolah dahulu seingat saya setiapkali lonceng sekolah berbunyi pertanda jam pulang sekolah maka kami umumnya bersorak Hooreee. Yang paling terpuji adalah guru yang langsung membubarkan kegiatan belajar mengajar, dan sebaliknya yang paling tidak populer adalah manakala ada guru yang menunda nunda kepulanngan dengan dalih apapun. Pulang sekolah atau berakhirnya kegiatan belajar dan mengakjar dalam kelas itu adalah sesuatu yang paling dinanti nanti, maka kepulangan itu disambut dengan hooreee ... yang sinonimnya Merdekaaa. Teriak merdeka dan horee pada saat pulang sekolah bisa jadi memiliki volume dan statistik yang sama. Jika Merdeka diteriakkan oleh para pejuang Kemerdekaan, sedang hooreee di terikakna anak anak sekolah, setidaknya zaman saya dahulu.

Wajar saja bila Pemerintah kini telah lama menyadari hal ini karena toh kita semua adalah merupakan produk pendidikan. Bagaimana mungkin kita akan menjadi bangsa yang cerdas manakala sekolah saja dirasakan sebagai neraka. Kehadiran anak di sekolah dirasakan sebagai disiksa di neraka, sementara kita sebagai pendidik justeru membusung dada sebagai pahlawan tampa jasa. Adalah dua sisi yang berbeda. Nampaknya Pemerintah merasa telah bersuhama agar sekolah menjadi syurga baik bagi  siswa maupun guru dan tenaga kependidik lainnya.

Nampaknya oleh Pemerintah kita sebagai guru diciptakan agar agar profesi guru sebagai profesi syurga terlebih dahulu dengan cara memberikan tunjangan sertifikasi, Sayang tunjangan sertifikasi bagi para guru belum dipahami dengan menggunakan filosofi yang seperti diharapkan, karena para guru memahami baru sebatas pemahaman fragmatis, economics. Belum mencapai tahapan ideal dalam prospektif pendidikan. Sehingga dana yang digunakan sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan oleh para guru dengan memanfaatkan dana sertifikasi yang mereka dapatkan masih terlampau sedikit, itulah sebabnya maka pembayaran dan penganggaran dana pendukung program ini selalu terancam evaluasi dari waktu ke waktu.

Pemerintah memang membutuhkan indikator yang ideal apakah pembayaran sertifikasi tenaga pendidik atau guru itu telah memberikan efek peningkatan mutu yang memiliki prospek yang baik atau belum. Semula kita menduga bahwa peningkatan mutu itu ditandai dengan semakin beragamnya pilihan guru untuk menerapkan metode pemebalajaran yang sebanyak banyaknya, sehingga dietemukannya metode yang paling ideal yang telah dilaksanakan dan terekam dalam penelitian tindakan oleh para guru. Tetapi belakangan tiba tiba Kementerian Pendiikan memaklumkan kepada khalayak bahwa tidak ada lagi kewajiban untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas. Lalu indikator apa yang bisa digunakan untuk mengukur kemajuan yang telah dilaksakan oleh para pendidik itu.

Maka besar dugaan perasaan berada di neraka selama dalam proses pembelajaran seperti apa yang pernah saya alami dahulu akan mengalami sedikit dan lambat sekali mengalami perubhan, sehingga manakala fullday yang diselenggarakan dalam dunia pendidikan ini tidak boleh terlalu diharapkan akan terwujud bahwa proses pembelajaran di sekolah adalah syurga bagi para peserta didik itu. Yang bisa menjawabnya adalah warga sekolah, bukan kita yang berada di luar sekolah itu, kita hanya bisa beropini dan menduga duga.



]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]]SORRY BELUM SELESAI ... BANYAK GANGGUAN]]]]]]]]]]]]]]]]]

No comments:

Post a Comment