Tuesday, May 1, 2018

PEMERINTAH MENGELOLA NEGARA DENGAN MINUS LITERASI (GERUNG)


PRESTASI Jokowi sebagai Presiden semakin hari semakin mengecewakan, karena media sosial semakin disesaki analisis yang menyudutkan prestasi Jokowi yang semakin lama semakin nyata kemiskinannya dalam literasi, dan dalam waktu bersamaan beliau menkebiri kebebasan berpendapat dan berekspressi. Menangkap gejala kekeringan literasi yang dimiliki Presiden, nampak para anggota Kabinetnya justeru memanfaatkan kelemahan ini. Salah satu yang berani cukup kritis  adalah Pengamat politik Rocky Gerung.

Semakin hari bukan pretasi yang dicapai melainkan daftar kekecewaan, bukan hanya kecewa, tetapi hilang kebanggaan, bahkan merasa malu. Apalagi dalam waktu bersamaan beliau sendiri gampang lupa dengan apa yang telah dijanjikan, bahkan lupa dengan apa yang pernah diucapkan



Sejak awal tidak kurang dari seorang Prof. Salim Said pakar politik kemanan mengatakan bahwa kelemahan yang paling menonjol bagi seorang Presiden Jokowi adalah pidatonya tidak menarik, tak pandai berpidato, bahkan juga tak pandai berdialog. Kata Salim Said yakin, nanti pada suatu saat  Jokowi akan menghadapi masalah siriuis atas kelemahannya yang satu ini.

Dahulu kita punya Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur,  lalu SBY, mereka pandai berpidato, mereka mulya ketika menjadi tamu di negara sahabat. Semestinya para pembantu Presiden Jokowi mengantisipasi kelemahan yang satu ini, siapkan teks teks pidato beliau sehingga memiliki makna yang dalam, dan akan kelihatan beliau memiliki konsep yang didukung literasi yang luas.

Sebagai contoh kecil sebenarnya Gubernur DKI akan dijatuhkan dari banyak sisi akibat kekecewaan   atas hasii Pilkada yang lalu, tetapi karena Anis nampak memiliki literatur yang luas dan pandai berpidato maka beliau tidak kehilangan rasa simpati masyarakat DKI, bahkan Indonesia, bahkan dunia, Kalau saja Presiden Jokowi memiliki kemampuan berpidato serta kekayaan literasi yang standar saja. Maka kita yakin banyak masalah yang bisa dijelaskannya dengan cara singkat dan seksama, serta mengarahkan para pembangtunya.

Kunjungan Presiden Jokowi ke Newzaeland, yang menuwai kekecewaan karena merasa dilecehkan, karena beliau tidak melakukan konfrensi Pers setelah melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri setempat. Masyarakat setempat merasa dilecehkan oleh Jokowi, Jokowi dianggap angkuh dan tak memiliki rasa simpati kepada negara itu. Hal ini terjadi barangkali kurang mempersiapkan diri.

Jangankan kunjungan kenegaraan, kita yang berpesiar ke suatu tampat saja, sebelumnya berusaha mencari tahu tentang sejarah dan keadaan tempat yang akan dikunjungi. Sehingga ketika ditanyakan kesan yang dirasakan setelah mengunjungi tempat itu maka kita memiliki konsep yang benar dan jelas dalam memberikan komentar. Tidak sulit bagi seorang presiden untuk mengetahui prihal Newzailand dari berbagai aspeknya. Karena sebelumnya kita telah memiliki kemampuan mengapresiasi segala informasi yang kita terima.  Tidak harus berbahasa Inggris, bisa dan boleh bahkan akan lebih terhormat menggunakan penterjemah, ketimbang bicara sendiri dengan bahasa yang sangat terbatas, dan kehilangan makna. Ketidak mampuan seorang piumpinan negara untuk berkomunikasi dengan publik di zaman Now akan menjadi gunjingan  hingga ratuisan tahun.

Presiden RI yang pertama memiliki wawasan yang luas dan didukung literasi yang mengagumkan,  Presiden Suharto memiliki keterampilan berpidato, sehingga bahasa Indonesia berkumandang di sidang terhormat dunia, pada saat itu beliau mampu membawa rakyatnya mencapai swasembada pangan, dan meningkattkan APK dan APM Pendidikan Nasional. begitu juga dengan Habibie, SBY.  Berdasarkan catatan yang kurang pandai berpidato adalah Megawaty serta yang sekarang Jokowi. Ternyata benar kekurang terampilan berpidato bagi pimpinan negara sebesar Indonesia akan berakibat vatal.

Marilah kita ambil pelajaran dari kasus ini bahwa untuk memimipin bangsa sebesar Indonesia seorang Presiden harus ditunjang kemampuan literatif yang tinggi, sehingga memiliki kemampuan mendialogkan segala permasalahan. Manakala seorang pimpinan tertinggi tidak memiliki kemampuan berdialog maka penguasa akan cenderung otoriter, segala kritik yang muncul akan dianggap sebagai penghinaan.

Aneh'  segala kritik yang disampaikan diharuskan dengan menyampaikan solusi,  jika tidak dengan solusi maka desbut sebagai ujaran kebencian, padahal tugas Pemerintah adalah mencarikan solusi dari permasalkahan yang ada, dan kritik adalah awal dari pengkajian permasalahan itu. Dalam pengkajian itulah






No comments:

Post a Comment