Wednesday, April 25, 2018

ALUMNI 212 TETAP MENUNTUT KEADILAN HUKUM KEPADA PRESIDEN

NASIONALISME SKULARISME LIBERAL Versus NASIONALISME   ISLAM.

MENGIRA  Presiden benar benar tidak tahu bahwa telah terjadi kriminalisasi ulama oleh sejumlah aparat  maka dengan penuh semangat sejumlah ulama alumni 212 bersemangat menemui Presiden Jokowi langsung untuk melaporkan bahwa ada sejumlah aparat telah mengkriminalisasi ulama dan meminta kepada Presiden untuk mencegah akibat yang sangat tidak bermanfaat bagi pihak manapun.

Terselenggaralah pertemuan tertutup, dalam pertemuan itu  Alumni diwajibkan menitipkan HP masing masing kepada petugas Istana. Awak media tak diperkenankan meliput. Dan tak kurang Presiden sendiri yang melarang petugas Istana untuk meliput pertyemuan itu, setalah beberapa saat kamera istana beraksi. Selesai pertemuan para alumni tak melakukan konfrensi pers. 



Apa lacur,  nampaknya pihak Istana memiliki strategi tersendiri,, foto foto beredar luas dan seolah mempersilakan masyarakat memberikan tafsiran tersendiri. sehingga bunyi tafsiranpun beraneka ragam. bagi yang pro kelompok ini disambut dengan keterkejutan karena ini bukan agenda ideal, karena pertemuan sementara tokoh sebelumnya tidak memberikan hasil yang baik, untuk tidak dikatakan justeru dipecundangi. Hasul pertemuan ini bisa dinilai hanya melahirkan peluang tarik ulur, tak ada sesuatu yang benar benar bearti, melaikan kesempatan untukenyusun dan memperkuat strategi. Gambar bambar yang viral disebarkan, adalah peluang bagi kelompok mengajak bergabung atau kalaupun gagal  tertentu untuk  membuat meme atau pembulian lainnya, sementara bagi alumni 2123 adalah peluang untuk kecewa dan ancaman perpecahan.



INI  tahun politik Bung, demikian yang harus ditegaskan kepada para alumni 212, kedatangan anda untuk mau berjumpa dengan Jokowi pada saat Jokowi sedang mengumpulkan dukungan, yang sebenarnya itu justeru yang dilakukannya sejak begitu menduduki kursi Kepresidenan. Sebagai politisi yang umumnya cenderung untukenghalakan segala cara.Maka bernilai natif dan positifnya kedatangan alumni 212 maka secara politis Presiden Jokowi  harus mengmbil keuntungan.


Belajar dari pengalaman berbagai tokoh yang telah mencoba menghadap melalui jalur Japri atau sebagai anggota masyarakat dengan berbagai kompetensi apakah sebagai pakar hukum ataupun pengamat serta praktisi lainnya, diketahui bahwa dimata rejim ini kesalahan Habib Riziq Syihab (HRS) sudah terlampau besar dan berlapis lapis yang terpaksa dibuat berbab-bab. Sehingga akan sulit  bagi HRS akan keluar dari lubang jarum paska kekalahan Ahok sebagai dosa yang paling besar. Demikian kira kira penilaian sementara pihak terhadap kasus Rezim Jokowi VS HRZ.

Tentu tidak semua analisa mendapatkan benar seratus perosen, oleh karenanya maka yang paling penting adalah masing masing berusaha untuk evaluasi diri, manfaatkanlah segala literasi politik keislaman, setidaknya ada dua buku yang ditulis dengan harapan untuk dapat dijadikan pegangan dalam politik yang pertama buku yang ditulis oleh  Yusuf Al-Qardawi yang berjudul Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, yang diterjemahkan oleh Khoirul Harahap.

Buku ini sangat pantas di baca oleh ummat Islam Indonesia yang nampaknya masih mengalami kemiskinan literasi Keislaman dalam berpolitik. Nukilan pemikiran Dr. Muhammad Lutfi Zuhdi Kepala Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam pada Universitas Indonesia juga termaktub dalam kulit buku ini dapat segera diketahui pembaca sebelum membaca buku ini lebih dalam. beliau mengatakan  bahwa pembicaraan tentang agama dan politik telah dilakukan oleh pemikir. Ada beberapa buku yang ditulis oleh ulama luar, dan tulisan karya Qaradhawi ini adalah salah satu buku yang ditulis ulama kontemporer, salah satu dari sekian banyak buku lainnya.

Dari dalam negeri pernah sejumlah penulis, pengamat dan praktisi mereview pemikiran Dr. NurcholisMadjid  tentang politik di Indonesia, katakanlah demikian, walaupun kenyataannya judul buku Thoriqot Nurcholisy masih terkesan seperti dipaksakan. karena kesepakatan kesepakatan gagasan penulis yang berbau kesepahaman dengan gagasan pembaharuan Nurcholis Majid masih dirasakan belum maksimal, masih terdapat banyak perbedaan diantara mereka. Untuk tidak dikatakan masih kurang matang. Masdyarakat yang sejatinya kurang literasi ini masih membutuhkan banyak informasi dari penulis. Sehingga tidak jarang justeru upaya pembaharuan Islam kadang bukan menghabiskan waktu berdiskusi dengan lawan politik, melainkan diskusi internal  sesama Islam sendiri.

Ingin buru buru saya sampaikan bahwa intelektual Muslim sekarang ini masih terbagi dua, ada alumni Timur Tengah dan ada Alumni Barat.. Alumni Timur Tengah nampaknya masih bertahan untuk melakukan penyegaran kembali naskah naskah klasik, sementara alumni Barat sepertinya  seolah masih menginginkan dialog dengan gagasan skulair, Hak azazi manusia dan bahkan sekarang liberalisme. Hasil  dialogis Intelektual Islam Barat nampaknya seperti dengan mudah dimentahkan oleh Intelektual Muslim yang berliteratur Kitab klasik Timur Tengah.

Pada saat ini seperti nampak sedikit senyap karya tulis Muslim maupun Non Muslim, Intelektual agama. seperti masih mendompleng pada gagasan gagasan HAM dan Demokras iliberal. Kampanye besar besaran dengan dukungan dana besar dari pihak Yahudi, Amerika dan Barat seperti akan mendapatkan respon, gagasan gagasan awal seperti Pengarusutamaan gender, tiba tiba disusul dengan gagasan LGBT.

Dengan suatu teori yang  mengatakan bahwa setiap seseorang baik laki laki ataupun perempuan memiliki hak untukenentukan apakah Ia akan menikah dengan lawan jenis atau sebaliknya menikah sejenis atau tidak menikah sama sekali. Rumus itu seolah dadakan, tiba tiba ada di meja kerja kita, yang kita tak sadar kepan pembahasannya. Artinya selama itu para politisi sedang dibikin mabuk atau tergila gila dengan suatu hal dan sekaligus melupakan yang lain. Artinya pada saat ini sebagai ummat kita sednag tidak memiliki pemimpin. Ketika tak ada pimpinan, tak ada yang memberikan penjelasan, tak ada yang mengajak kemana arah melangkah. 
.......

No comments:

Post a Comment