Thursday, March 7, 2019

HAPUS KATA KAFIR DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA

Hapus kata "Kafir" dalam kehidupan Berbangsa  (1)


Putusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 untuk tidak menyebut "kafir" kepada sesama warga negara Indonesia yang non muslim memiliki landasan yg kuat, baik naqli maupun aqli, tekstual dan kontekstual (historis dan sosiologis).
Penyebutan kata kafirun - kafirin - kafara - dan ratusan sejenisnya dalam Al Quran lebih banyak dalam wilayah akidah yg saat itu dipenuhi suasana konflik permusuhan, dan bukan dalam keadaan damai. Maka sebutan kafir dalam ayat2 al Quran khusus ditujukan kpd mereka yang menyimpang dan memusuhi Islam (kaum kuffar Makkah dan Ahlul Kitab yang bersekongkol memerangi kaum muslimin).

Oleh karena itu, kpd penyembah api, bintang, atau Yahudi dan Nasrani, yang bersikap baik, bersahabat, atau mengikat perjanjian damai, justru dipanggil dengan santun dan memuliakan, misalnya Ya Ahlal Kitab .. bukan hei kafir ..
Sbg mufassir dan pelaksana titah wahyu, Nabi pun tidak gegabah menyebut kafir dalam ucapan dan tindakannya. Bahkan Nabi mencap orang yang suka meng"kafir2"- phk lain tanpa dasar sbg kafir yg sesungguhnya.

Maka dalam Piagam Madinah (Shahifah al Madinah) tidak ada satu kata kafir pun ditulis untuk ditujukan kpd pihak2 yg ingin hidup harmonis dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai, padahal banyak non muslim yg terikat di dalam piagam tsb, seperti Yahudi dan orang musyrik Madinah sendiri. Mereka tidak disebut kafir tapi tetap Yahudi dan musyrik (paganisme).
Memang dalam salah satu baris (sering ditulis sbg pasal ke 14) Perjanjian Madinah tsb ditulis kata "kafir" dua kali :

ولا يقتل مؤمن مؤمنا فى كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن.
Terjemahnya : "seorang mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin lainnya karena membela seorang kafir. Dan tidak boleh seorang mukmin membantu seorang kafir untuk memusuhi orang mukmin".

Teks ini harus diterjemahkan dgn benar dan dikaitkan dg teks sebelumnya (11, 12, 13) dan sesudahnya (15n 16, 17, 18, 19, 20) yg berbicara ttg persekutuan dan pembelaan.
Jelas sekali konteks kata "kafir" dalam Konstitusi Madinah tsb ditujukan hanya kpd orang2 non muslim yg memusuhi, membunuh, memerangi atau bersekutu dalam memerangi orang yg beriman (mukmin). Sedangkan non muslim yg berdampingan secara damai dg orang mukmin dan terikat dalam aliansi keamanan Piagam Madinah tsb tetap ditulis dan dipanggil sesuai dg nama suku atau agamanya. Mereka ada bani Auf, Jutsam, Harits, Nabit, Aus, Najjar, musyrik, dll. Mereka ini tidak ditulis "kafir" sedikitpun.

Semua mereka yg terikat dalam perjanjian damai Madinah ini, muslim dan non muslim, harus diperlakukan dgn baik (bil makruf), adil tanpa diskriminasi (bil qisth), diberi pertolongan (an nashru), keteladanan yg baik (al uswah), tidak boleh dianiaya (ghair mazhlumin), saling mengingatkan (an nashihat), memberi kebaikan (al birr), tidak menyakiti (al itsm).
Bahkan dalam sistem kehidupan yang diatur dalam Konstitusi Madinah itu ditegaskan bhw orang Yahudi dan orang Islam (mukminin) adalah "satu ummat", saling bahu membahu dan memikul beban (psl 24 - 23).

Jadi tegas sekali dalam piagam perjanjian aliansi keamanan Madinah ini bahwa non muslim yang baik dan tunduk pada aturan perjanjian bersama adalah satu umat yg bersaudara bagi umat Islam, saling melindungi dan mereka tidak disebut kafir.
Jadi tidak semua non muslim bisa dipukul rata dan membabi buta disebut kafir. Hanya non muslim yang ingkar, menolak Islam, mengkhianati keaepakatan dan memusuhi umat Islam sj yg layak dipanggil kafir.
Bagaimana kita ?

NKRI bukan negara agama (khilafah, teokrasi) dan bukan pula negara sekuler tapi negara bangsa yg terbentuk atas dasar kesepakatan para pendiri dari berbagai latar agama. Dalam nation state ini Pancasila juga sudah disepakati sebagai nilai dasar yang mempersatukan dan melindungi. Semua warga negara adalah sama di depan hukum tanpa diskriminasi papaun.
Dalam fikih klasik memang warga negara dibagi menjadi muslim dan kafir (zimmi, musta'man, mu'ahad, dll). Kategori ini wajar saat itu karena memang dibuat sesuai dg eranya, sistem berdasarkan agama tertentu dan feodal. Era moderen jauh berbeda dan banyak perubahan. Maka kategori tsb tidak relevan lg, termasuk di Indonesia.

Persis dg Konstitusi Madinah, dan sejalan dgn prinsip al Quran, maka dasar negara dan konstitusi Indonesia jg merupakan perjanjian kesepakatan bersama untuk tidak membeda2kan semua anak bangsa. Maka dalam kehidupan berbangsa dan beragama tidak perlu lg kita memanggil kafir kpd orang lain beda agama, apalagi yg satu agama tapi beda paham. Lebih rusak parah lg jika ada yg sampai mengusulkan nama Surat Al Kafirun diganti dg nama Surat Non Muslim .. Jadilah orang yg cerdas dan waras ... Salam Waras dan lanjuttt ... !!!

No comments:

Post a Comment