Friday, January 10, 2020

MEMAHAMI QOMARUDDIN LEWAT ADI MASARDI.

SAMPEAN KOQ JARANG NULIS .

SAYA NGOBROL BERSAMA QOMARUDDIN HIDAYAT itu terjadi pada tahun 80-an sedang jaya jayanya Presiden Soeharto, pada saat itu beliau dikenal sebagai anggota redaksi Majalan Panji Masyarakat, saya menyukai Panji Masyarakat selain karena itu warisan dari Dr. Hamka yang sangat saya kagumi karena beliau sempat saya saksikan langsung ketika beliau berkunjung ke desa Pagelaran Pringsewu, pada saat itu belasan orang berebut menyalaminya di bawah rintik hujan dilindungi sebuah payung hitam di pegang oleh seorang pemuda dari Pringsewu, juga saya sempat berjumpa dengan beberapa orang redaktur Panjimas antara lain Azyumardi Azra, Iqbal Saimima dan juga Qomaruddin Hidayat.

Qomaruddin Hidayat pada saat itu saya temui ketika saat jeda dalam acara diskusi dari Kampus IAIN di Labuhan Ratu Bandar Lampung. Saya pastikan bahwa pada saat itu beliau lupa dengan saya, tetapi karena pembicaraan saya mulai dari menyanyakan sejumlah nama antara lain Ahmad Zaky yang pernah kami perjuangkan untuk menjadi Ketua PB HMI untuk bersaing melawan rivalnya UKI dari ITB dan Zakyunggul berkat dukungan kawan kawan mahasiswa IAIN yang tersebar di hampis seluruh Cabang. Lalu saya menanyakan kabar, Dzulkarnain Djabbar, Irhamni, Azyumardi, Iqbal, Fachri Ali sampai ke Sudirman Teba, mereka semua teman teman Qomaruddin Hidayat sehingga pertemuan kami berdua menjadi hangat, karena saya dianggap mengenal dan memperhatikan gerakan mereka.



Ada suatu pertanyaan yang saya ujung ujungnya menyesal saya tanyakan karena cukup menyita waktu sehingga bekiau nebubda acara agak belasan menit dari acara diskusi itu. Tetapi pada saat yang sama membuat saya tercenung. Pertanyaan saya itu hanya "Mas Qomar Ente Kok Jarang Sekali Menulis di Kompas. Mengapa tidak seperti Fachri Ali yang tulisannya seringkali muncul di Kompas.

Sosok Fachri Ali itu bagi saya juga unik, karena beliau itu tak kunjung menyelesaikan S1 nya hanya lantaran sang pembimbing memaksakan untuk menyelipkan sejumlah kata di Skripsi itu sementara kata kata itu adalah sesuatu yang tak di sukai Fachri. Itu mengakibatkan tertunda hingga bertahun tahun. Sampai suatu saat ada seseorang menawarkan agar Fachri pindah kuliah di Australi, dikampus itu pemikiran Fachri Ali sudah di kenal. Benar Fachri selesai S1 nya di Australia, dan tak berapa lama kemudian selesai juga S2 nya Kampus yang sama.

Menurus cerita Sudirman Teba jasa Fachri Ali itu besar artinya bagi mahasiswa letingan Sudirman Teba yang sudah menampilkan belasan tulisan di Kompas berkat bimbingan Fachri Ali. Setiap harinya Fachri Ali menerima konsep tulisan opini untuk dikirim ke Koran harian terbitan Jakarta atau Bandung. Dengan tekun Fachri mengoreksi tulisan teman temannya itu. Hingga puluk 12 malam ruang kamar belajar Fachri masih nampak terang, bahkan hingga pukul  satu malampun terang. Ei ... besok pagi sehabis subuh beliau langsung main bulu tangkis. Secara grup kata Sudirman Teba bahwa lembar Opini Kompas lebih didominasi mahasiswa IAIN Jakrta, yang lain bukan grup tetapi perorangan.

Saya tak sembarangan dalam menulis kata Qomaruddin Hidayat kepada saya, sambil menyeruput kopi Lampung yang disuguhkan panitia, karena saya tak boleh bertentangan dengan Buya Hamka, katanya, Buya Hamka itu seorang tokoh autodidak yang merebut simpati ummat, saya tak ingin merusak kepercayaan orang kepada Buya Hamka. Saya yang bodo pada saat itu tentu nampak sekali dungunya. Kenang kenangan itu mengingatkan saya ketika Adi Masardi Tampil di studio Fasco Desaimi, Macan Idealis Chanel.

Adi Masardi bilang bahwa statusnya yang pernah menjadi juru bicara Gusdur telah manaikkan gengsinya, tetapi belakangan juga justeru menjadi bebannya. Ada hal yang sangat saya kagumi dari Gus Dur katanya, bahwa Gus Dur itu tak berubah pikiran dan keyakinan hanya lantaran jabatannya. Beliau selalu berpihak kepada kebenaran. Sikap dan pikiran beliau tidak berubah baik ketika menjadi rakyat biasa, ketika menjadi Presiden dan ketika telah dilengserkan dari jabatannya. Itu yang sangat dikagumi Adi selaku Juru bicaranya, dan itu pula yang dilakukan Adi Masardi. Sebelum Gus Dur jadi Presiden Iya sebagai sahabat, ketika Gys Dur Jadi Presidean Dia jadi Juru bicara, setelah tak menjabat jadi Presiden, dia kembali menjadi Sahabat, yang aslinya adalah pengagum Gus Dur.

Tak banyak orang yang mampu bersikap seperti itu, selain Adi Masardi, ada seorang tokoh yang sebenarnya  mengemban gerar Doktor, S3, Dia sering menjadikan bahan lawakan dengan inspirasi sikap Gus Dur, ternyata dalam berbagai hal orang ini kata Adi Masardi tak mau memiliki sikap yang bertentangan dengan sikap Gus Dur. Apa sikap Gus Dur ?. Gus Dur tak mau menghamba hamba kepada Penguasa. Tak banyak orang mampu bersikap seperti itu, demikian juga sikap Qomaruddin Hidayat yang membatasi tulisannya, disimpannya dalam dalam, lantaran Dia tak mingin bertentangan dengan sikap dan karakter Buya Hamka. Marilah kita ambila hikmah dari kisah ini. semoga.     

No comments:

Post a Comment