Saturday, July 28, 2018

JOKOWI BUTUH DUKUNGAN SUARA ISLAM



SULIT DIPUNGKIRI bahwa sejatinya Jokowi gagal berkomunikasi secara baik dengan ummat Islam, karena beliau keliru langkah dalam menerapkan komunikasinya dengan ummat Islam  pada saat aksi bela Islam dan aksi damai ummat Islam dalam kasus Ahok. Bahkan sempat para ulama panutan ummat dibombardir dengan gas sehingga banyak juga yang harus dirawat dirumah sakit. Jokowi nampak bimbang sehingga ummat banyak mengira Jokowi sejatinya bersekongkol dengan Ahok, yang berhasil membangkitkan amarah ummat kepadanya, paska pernyataan di Pulau Seri hu itu. Sadar akan kekeliruan atau mungkin dillematis bagi Jokowi, karena di lain pihak Ahok adalah sangat berarti bagi Jokowi.

Upaya rezim Jokowi mendekati ummat Islam melalui NU dan Muhammadiyah justeru membuat luka baru, karena upaya pendekatannya berpotensi memecahbelah ummat dengan pro dan Kontra, karena melalui aparat resmi dikatakan bahwa yang berperan dalam Kemerdekaan hanya NU dan Muhammadiyah, Padehal masij ada beberapa komunitas ummat Muslim yang dikenal gigih berupaya untuk mencapai Kemerdekaan dengan cara mengusir penjajah. Taktik belah bambu Jokowi melahirkan luka tersendiri.

Kalaupun hanya NU dan Muhammadiyah yang akan dirangkul oleh rezim Jokowi, maka dukungan dari komunitas ummat Islam dalam Pilpres dirasakan kurang dapt dijadikan jaminan. Karena pada saat aksi bela Islam dan aksi damai lainnya, justeru sebagian besar adalah anggota NU dan Muhammadiyah, walaupun keduanya secara resmi menyatakan melarang anggotanya terlibat dalam aksi ini dengan membawa atribut organisasi. Diu sisi lain artinya politik kepemimpinan NU dan Muhammadiyah sudah saatnya mampu mengevaluasi diri.

Evaluasi cepat rezim Cokowi nampaknya memutuskan bahwa pasangan Jokowi membutuhkan Cawapres yang masih memiliki hubungan baik dengan kelompok ummat di luar NU dan Muhammadiyah itu tadi. Fenomena munculnya nama Machfud MD,  M. Ali Muchtar Ngabalin, TGB.  Majdi dan terakhir Kapita Ampera adalah merupakan langkah kongkrit. Sayang sekali para pendukung Jokowi memanfaatkan kebersediaan keempat  tokoh ini untuk untuk menjalin komunikasi dengan baik denganb Jokowi justeru dimanfaatkan untuk mencibir, melalui media khususnya media sosial. Yang justeru kempat tokoh ini menjadi bulan bulanan, padahal seharusnya diajak untuk bersama bersimpati. Agar keempatnya mampu berperan menjadi jembatan untuk merealisasikan tercapainya kepentingan.

Sudah rahasia umum bahwa Pilpres di berbagai Negara selalu saja pihak asing tidak akan netral untuk mengamankan kepentingannya. Mereka tak segan segan mengeluarkan dana banyak, tidak terkecuali di Amerika Serikat, karena ada Warganegara Indonesia yang memberikan bantuan kepada Calon Presiden di Amerika Serikat yang konon melampawi batas maksimal yang diatur internal. Tentu saja lebih banyak negara lain yang pengusahanya sejatinya ikut terlibat dalam Pilpres di Amerika, dengan danan yang lebih besar. Mereka adalah para pengusaha dari negara yang lebih maju dan lebih makmur.Kepentingan mereka adalah memgamankan usaha mereka masing masing, itulah sebabnya asing sering tidak netral dalam Pilpres  pada negara, di mana mereka membuka usaha.

Jumlah perusahaan asing di Indonesia nyaris tak terbilang banyaknya, atau tidak gampang untuk memiliki data mereka. Setiap kali membicarakan data asing dalam dunia perusahaan, serta jumlah karyawan asing di di Indonesia nampak tak akan ada selesainya, karena masing masing memiliki data yang berbeda. Pihak Pemerintah sendiri seperti kesulitan untuk memutakhirkan data. Data itu seperti sesuatu yang wajib disembunyikan, barangkali ada kepentingan politik besar dibalik data itu. Terlepas dari berapa data yang sebenarnya, tetapi nyaris rata dipahami dan dirasakan akan besarnya campur tangan asing baik dalam Dalam Pilkada, terlebih dalam Pilpres.

Tetapi permainan cantiuk dalam berpolitik harus diupayakan agar elok dalam pandangan rakyat maupun maupun asing. Kemenangan persainmgan apalagi Pilpres harus memiliki kesesuaian dengan gejala yang nampak, bukan hanya disuarakan dalam gambaran elektabilitas hasil survey. Survey akan lebih tepat dijadikan konsumsi internal partai, bukan dipertontonkan ke publik. karena lama kelamaan survey yanmg melahirkan elektabilitas itu ternyata masih diragukan provesionalisme dan kejujurannya, karena kata para pengmat bahwa pertanyaan dan pilihan sampel tak lepas dari strategi mendapatkan hasil yang diingunkan.
Maka yang paling sahih tentunya gejala yang langsung tertangkap di mata publik, itulah sebabnya dukungan suamara pendukung muslim pelu diperlihatkan.

Walaupun terlambat maka memiliki jubir yang seyogyanya mewakili suara Islam memang dibutuhkan sangat. Sejatinya Jokowi membutuhkan tokoh seperti Said Agil Siraj, Purnomo Wahid, Buya Syafii Maarif, Machfud MD, Moh. Ali Muhtar Ngabalin, dan Tuanku Guru Bajang Majdi, pernyataan pernyataan para tikih yang disebut di atas kerap mengeluarkan pernyataan yang menguntungkan Jokowi dalam mendongkrak tahta elektabilitasnya.

Tetapi sayang para tokoh ini tidak berhasil memberikan masukan masukan yang tepat kepada Jokowi agar mampu menampilkan diri lebih Islami, lebih komunikatif demham  ulama dan ummatnya. Mereka masih sering  justeru membuka fron dan perselisihan dengan ummat secara diametral. Mereka bukan membuat Jokowi mendapatkan simpati dari ulama dan ummat, tertapi menambah daftar kekecewaan. Dan akhirnya pada saat ini Jokowi kesulitan dalam menentukan siapa Cawapresnya.




















No comments:

Post a Comment