Tuesday, July 31, 2018

BEKERJALAH UNTUK KESEJAHTERAAN BANGSA.

KUTIPAN : Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, saat ini ekonomi dunia sedang berada pada masa yang sulit. Selain sulit, situasi juga penuh ketidakpastian.
"Kita harus bicara apa adanya bahwa situasi ekonomi dunia sekarang ini masih betul-betul pada posisi yang sangat sulit. Saya kira Bapak-Ibu semuanya, bupati, juga merasakan betapa ketidakpastian ekonomi dunia itu betul-betul sulit dikalkulasi dan sulit dihitung," kata Jokowi di depan para bupati se-Indonesia, Kamis (5/7/2018). https://www.cnbcindonesia.com/news/20180705141054-4-22091/jokowi-sebut-ekonomi-sedang-sulit-benarkah

MEMBACA kutipan tersebut di atas saya seperti mendapatkan sedikit kelegaan bahwa Presiden Jokowi sejatinya memiliki kejujuran yang sangat tinggi, dan betapa indahnya manakala kejujuran itu mampu dipertahankan, walaupun resikonya semua kelemahan akan terbaca oleh masyarakat komunitas rakyat yang dipimpin. Walaupun sebenarnya kelemahan kelemahan itu bisa dijadikan dasar untuk berpartisipasi dalam rangka menutupinya, tetapi sebagai Pemerintah sejatinya kecenderungan penguasa adalah menutup nutupi segala kelemahannya dari rakyat yang dipimpinnya. Karena kelemahan itu juga sebagai ruang tembak bagi parapihak yang berambisi untuk menggantikannya sebagai pemimpin.

Di lain pihak memang biasanya seorang penguasa melakukan berbagai langkah taktis berbentuk pencitraan untuk menenamkan kepercayaan dan keyakinan bahwa pemimpin tak memiliki kekurangan dan cela apapun. Dan dalam banyak teori politik itu disyahkan. Dan bagi masyarakat umu semua jamak adanya, hanya saja Presiden Jokowi telah melakukan kesalahan fatal ketika Ia menjadikan Ibadah keagamaan dalam hal ini Islam sebagai alat dan objek pencitraannya.

Ketika semua mafhum bahwa warna politik Presiden Jokowi itu adalah Nasionalis sekule, pendukung wrna politiuk seperti itu banyak juga pendukungnya, termasuk diantaranya adalah sebagian dari masyarakat penganut agama. Selain warna politik skularis ada juga kelompok masyarakat yang berusaha menggunakan ajaran agama sebagai literatur politiknya, utamanya agama Islam dalam sejarahnya perkembangan agama Islam selalu melekat dalam percaturan politiuk dan kekuasaan. Di awal mula penyebaran agama Islam di periode Makkah Islam sulit berkembang, ketika kepemimpinan dikuasai oleh kelompok kafir Quraisy.

Penyebaran agama Islam baru berkembang secara baik ketika memasuki periode Madinah, dimana pada saat itu Rasulullah SAW mendapatkan kesempatan dan kepercayaan untuk muncul sebagai Pemimpin Bangsa selain juga sebagai pemimpin Agama. Rasulullah Saw. di periode Madinah Rasulullah SAW telah memasuki dunia Pemerintahan, dan berdasarkan sejarah bahwa dalam periode ini Islam mulai terhindarr dari berbagai uapaya Penguasa untuk menekan dan menghambat perkembangan Islam melalui tekanan kekuasaan dan semacamnya.

Pemilu pertama Tahun 1955 menghasilkan PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, PKI 39 Kursi, PSII 8 kursi, Partai Kristen 8 kursi dan Partai Katholik 6 kursi, plus sejumlah partai gurem lainnya baik skuler maupun Islam dan jumlah kursi secara keseluruhan 257. Adalah merupakan suatu yang hal yang wajar, manakala terjadi persaingan yang sesungguhnya berimbang manakala berjalan secara fair. Pemilihan legislatif itu juga memiliki peran untuk menghitung aspirasi masyarakat, di mana suara Islam nampaiknya merupakan suara mayoritas, sehingga wajar saja bila suara Islam itu menjadi suara yang selalu diperebutkan.

Ada beberapa cara untuk menggembosi suara Islam agar berpecah, dahulu waktu zaman PKI atau Era Orde lama adalah dengan cara melakukan pembusukan pimpinan ummat, diantaranya Buya Hamka adalah copntoh misal, Buya Hamka adalah tokoh Panutan Ummat. Pada Era Orde Baru adalah dengan merekrut sejumlah tokoh panutan untuk menjadi bagian dari Rejim Orde Baru, cara seperti ini nyaris berhasil dengan sempurna. Mayoritas tokoh ummat adalah bagian dari Golkar, baik langsung maupun tidak langsung. Pada era Orde Baru  ada sejumlah tokoh di kelompok Islam yang tertangkap karena melanggar batas aturan, tetapi rata rata itu mereka itu adalah tokoh yang tak dikenal, belakangan diudga mereka memang tokoh rekayasa belaka.

Pada Era Orde Jokowi, rezim full  bekerja dengan sejumlah Partai Pendukung, pembusukan tokoh dan pimpinan ummat lebih dilakukan melalui merdsos, tokoh agama kurang direkrut, nyaris tokoh agama Islam khususnya kurang terwakili. Jalan keluarnya adalah tidak tanggung tanggung, ketika Jokowi gagal membina hubungan dan komunikasi secara baik dengan ummat dan ulama, rejim ini nampaknya ingin menunjukkan keidentitasan sebagai politik Nasionalisme Liberal. Pada pertengahan kekuasaan Orde Baru disosialisasikan politik Nasionalisme Religius. Tetapi nampaknya kita akan mengacu ke Barat dan Negara maju lainnya, politik kita menuju Demokrasi Liberal.

Wajar saja di Era Rejim Jokowi akan banyak benturan dengan Islam, karena pada saat Jokowi mengkampanyekan untuk melepaskan identitas keislaman dari dunia politik, tetapi dalam waktu bersamaan Demokrasi Liberal gencar dikumandangkan. Bentiran ini semakin lama semakin jelas dan memang tak lagi ada upaya menutupinya. Walaupun nampaknya bahwa upaya merebut suara Islam adalah merupakan sesuatu yang harus selalu diupayakan. Pada akhirnya Rejim Jokowi semakin transparan untuk mengenyahkan para ualama yang dianggap dapat menghambat cfita cita politik yang dimainkan oleh Jokowi. Tetapi dilain pihak ada upaya untuk memaksakan menerima Jokowi bukan hanya sebagai penganut Islam yang baik, tetapi Jokowi diupayakan untuk dicitrakan sebagai 'aabid atau ahli ibadah.

Secara berulang ulang staf Jokowi meminta beberapa pengurus masjid yang dikunjungi Jokowi agar Jokowi menjadi imam sholat yang memang menyaringkan suara, dan memang nampaknya Tim Jokowi sudah mempersiapkan kamera dan proses sholat dijadikan bahan youtube dan segera diviralkan sebagai alatpenciutraan. Padahal adalah kekeliruan besar menjadikan  pribadi Presiden Jokowi sbagai pemain  tunggal pencitraan untuk dijadikan sebagai sosok 'aabid dan ulama sekaligus adalah keliru. Karena terlalu banyak orang yang bisa mengukur tingkat pengetahuan agamanya dan kekhusyukan ibadahnya. Terlalu banyak orang yang memiliki kemampuan mengukur kelurusan beliau membaca bacaan sholat. Langkah yang satu ini sangat keliru, yang didapatkan adalah justeru kekecewaan ummat karena beliau telah sanggup mempermaikan sholat sebagai pencitraan dan keuntungan politik sementara bicara di mana mana jangan memnggunakan agama unruk kepentingan politik.



.




No comments:

Post a Comment